Thursday, April 19, 2012

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN

Problematika Pendidikan Indonesia
Tanggapan dari Kusuma Andrianto, untuk Agus Suwignyo dan Marsel Ruben Payong
TULISAN Agus Suwignyo di Kompas (8 April 2004) menggarisbawahi urgensi dan relevansi sistem pendidikan Indonesia, terutama dari sudut peserta didik. Suwignyo menyimpulkan bahwa signalling yang ingin disampaikan oleh sektor industri di Indonesia adalah betapa pentingnya karakter personal dan interpersonal lulusan perguruan tinggi dalam proses rekrutmen.
SELANJUTNYA, benang merah yang bisa ditarik dari tulisan itu adalah pentingnya kerja sama antara perusahaan dan lembaga pendidikan, sebagai penyedia input sumber daya manusia (SDM). Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Suwignyo, Marsel Ruben Payong (Kompas, 19 April 2004) menggarisbawahi hubungan signalling perguruan tinggi (PT) dengan dunia industri, terutama dari kesiapan dan relevansi kurikulum PT.
Dalam ilmu ekonomi, kita dengan mudah menemukan apa yang ingin disampaikan oleh Suwignyo dan Payong dalam literatur information economics (ekonomi informasi) dan proses signalling. Sementara itu, persoalan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sebenarnya jauh lebih kompleks daripada sekadar interaksi pasar antara PT dan industri. Dengan kata lain, baik Suwignyo maupun Payong telah mereduksi permasalahan menjadi sebuah kepingan puzzle, tanpa memberikan pemahaman keseluruhan alias the big picture akan persoalan pendidikan Indonesia.
Ini tidak mengherankan karena kecenderungan manusia adalah apabila kita memperhatikan ’pohon’, kita tidak melihat ’hutan’ secara keseluruhan. Sebelum kesalahpahaman semakin berlarut-larut, tulisan ini mengajak pembaca untuk melihat problematika penyelenggaraan pendidikan Indonesia dalam perspektif yang lebih jernih dan menyeluruh.
Pendidikan dasar
Proses pembentukan SDM- sebagian kalangan menyebutnya human capital-adalah meliputi seluruh kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan pribadi individu, ditinjau dari banyak segi, dari sejak usia dini hingga terjun dalam dunia profesional. Jadi, ini mencakup sekolah, baik formal maupun informal, pelatihan, on-the-job training, dan semua kegiatan lain yang bertujuan meningkatkan pengetahuan.
Akan kaitannya dengan pemberdayaan SDM tersebut, Suwignyo menekankan signifikansi penilaian kemampuan dan kreativitas individu sebelum memasuki dunia profesional, sementara Payong berargumen bahwa PT seyogianya lebih berani membuat terobosan mata kuliah baru yang lebih relevan bagi dunia kerja. Namun, sayangnya, saran kedua penulis bahwa proses ini dapat dilakukan pada tahap pendidikan tingkat lanjut sesungguhnya tidak tepat. Ini sudah pasti sangat terlambat. Pembentukan SDM justru harus dilakukan sejak usia dini ketika siswa masih ’lentur’. Apabila proses peningkatan SDM dipaksakan pada tingkat lanjut, katakanlah PT, akibat yang ditimbulkan justru negatif. Ibarat membentuk tembikar tanah liat yang telah mulai mengering dan mengeras.
Seorang rekan mahasiswa di Inggris pernah melemparkan lelucon bahwa kuliah di PT luar negeri lebih “mudah” dan setelah lulus juga lebih cepat untuk mendapatkan lapangan pekerjaan. Adapun kuliah di PT dalam negeri jauh lebih “sulit” karena terlalu banyak mata kuliah yang tidak jelas relevansinya. Celakanya, setelah lulus pun akhirnya jadi pengangguran. Saat mendengar seloroh itu, seketika saya teringat kejadian beberapa tahun yang lalu sewaktu tanpa sengaja mengamati materi ujian seorang keponakan yang masih duduk di sekolah dasar (SD). Saya terkejut bukan kepalang! Betapa tidak? Pertanyaan yang diajukan benar-benar sulit, dan terus terang saya sangsi apakah seorang mahasiswa sanggup menjawabnya.
Dari kedua “kasus” pendidikan PT dan SD di atas, kesimpulan yang dapat kita ambil adalah pola pendidikan tinggi di Indonesia meneruskan “tradisi” pendidikan SD yang sarat dengan muatan, namun sedikit relevansi. Mengapa ini semua bisa terjadi? Jawabannya terletak pada kesalahpahaman pengelola pendidikan formal yang semata menekankan pentingnya kelulusan dan muatan pengajaran. Tidak jarang akhirnya siswa terpaksa mengikuti pelajaran tambahan, baik yang diselenggarakan oleh sekolah yang bersangkutan maupun lembaga lain, semata-mata untuk mengejar target beban dan kelulusan.
Celakanya, sebagian besar masyarakat tidak punya banyak pilihan selain memercayakan pendidikan siswa semata kepada pendidikan formal. Sedemikian parahnya “beban” yang ditanggung peserta didik sehingga sebuah sekolah taman kanak-kanak di Jakarta menjalankan prosedur tes psikologi bagi calon siswa! (Kompas, 18 April 2004).
Pendidikan dan politik
Banyak kekeliruan yang seharusnya dapat dielakkan dalam pengelolaan pendidikan. Yang perlu diingat adalah bahwa kontrol sosial terhadap pendidikan formal adalah hal mutlak dan harus selalu diutamakan. Pendidikan di Indonesia terlalu berharga untuk semata diserahkan mentah-mentah kepada para ’pendidik’ dan birokrat, apalagi para politisi pembuat undang-undang (UU) pendidikan. Di saat hiruk-pikuk kampanye pemilu, siapa yang peduli dengan pengembangan pendidikan? Partai mana yang berani “menjual” platform pendidikan? Berapa anggaran pendidikan partai politik apabila mereka menang pemilu?
Pendidikan selalu merupakan hal yang terabaikan dalam politik sehingga akhirnya tak heran apabila tak ada satu partai pun yang peduli bahwa kegiatan belajar mengajar di SMPN 56 Jakarta Selatan digusur sehingga siswa terpaksa belajar di luar (Kompas, 19 April 2004).
Seberapa parahnya persoalan pendidikan Indonesia terungkap jelas dalam artikel, UAN Apa yang Kau Cari? (Kompas, 17 April 2004). Tulisan ini jelas- jelas menyatakan bahwa kurikulum dan sasaran pendidikan Indonesia tidak mengalami perubahan berarti sejak lebih dari setengah abad yang lalu.
Pada saat itu kurikulum Indonesia didesain meniru pendidikan Belanda, yang tujuannya tidak lain adalah mempersiapkan lulusan untuk bekerja di kantor-kantor VOC, menjadi pegawai kompeni yang dianggap berstatus nomor wahid. Kebanyakan akhirnya beralih menjadi pegawai negeri setelah Indonesia merdeka dan kompeni hengkang. Pertanyaannya sekarang adalah apakah ini masih relevan?
Karakter sebagai fitrah
Penyelenggara pendidikan di negara maju memahami persis bahwa fitrah manusia memang berbeda-beda, sebagaimana halnya sifat alam. Penghargaan akan talenta dan keunikan SDM dihargai sedemikian tinggi sehingga tidak heran apabila atlet atau penyanyi memiliki penghasilan berkali lipat lebih besar daripada bankir, birokrat, apalagi politisi.
Ibarat tanaman tropis tidak dapat tumbuh baik di iklim dengan empat musim, manusia juga memiliki berbagai karakter sehingga tidak dapat disamaratakan. Tujuan pendidikan bukanlah menyeragamkan kemampuan murid hingga memahami seluruh muatan pendidikan dan lulus ujian, melainkan mengidentifikasi dan mengembangkan karakter-karakter unggul yang dimiliki peserta didik. Sudah saatnya kita memperbaiki kurikulum pendidikan Indonesia-yang tidak banyak berubah sejak setengah abad yang lalu-untuk lebih menghargai fitrah manusia. Tidak semua orang ingin menjadi pegawai negeri, bukan?
Ada fenomena menarik belakangan ini sehubungan dengan semakin merosotnya nilai dollar dan semakin berlarut-larutnya kasus pelanggaran UU antimonopoli program aplikasi komputer. Bila terbukti Windows menyalahi UU antimonopoli di Eropa, bisa jadi predikat orang terkaya nomor satu akan berpindah dari pimpinan Microsoft, pembuat sistem operasi tersebut, kepada bos IKEA, seorang “tukang kayu”. Di negara kita mungkin tidak begitu terkenal, tetapi cabang IKEA sudah tersebar di mana-mana di seluruh dunia, padahal sumber utama kayunya berasal dari hutan tropis Indonesia.
Nah, sekarang coba kita berandai-andai. Kalau seorang “tukang-kayu” saja bisa jadi kandidat orang nomor satu terkaya, padahal bahan utamanya-physical capital-berasal dari negara kita. Bisa dibayangkan betapa besarnya potensi yang dimiliki Indonesia apabila human capital-nya diolah dengan benar.
PROBLEMATIKA SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA & GAGASAN BASED SYARIA’ EDUCATION
Oleh: Handayani, S.Pd
I. PENGANTAR
Pendidikan dalam konteks upaya merekonstruksi suatu peradaban merupakan salah satu kebutuhan (jasa) asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya.
Firman-Nya yang berkaitan dengan kewajiban mempersiapkan kekuatan kaum muslimin:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. (QS. Al-Anfal [8]:60)
Hadits Rasulullah Saw yang berkaitan dengan kewajiban penyelenggaraan pendidikan:
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim (HR. Ibnu Adi dan Baihaqi) ataupun, Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri china (HR. Ibnu Adi dan Baihaqi dari Annas RA) Seorang imam (kepala negara) adalah bagaikan penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (HR. Akhmad, Syaikhan, Tirmidzi)
Hadits di atas menunjukan bahwa pendidikan merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Sedangkan negara merupakan pihak yang wajib memberikan layanan pendidikan tersebut kepada rakyatnya sebagai implementasi dari tanggung jawab yang diamanahkan kepada pemerintah tersebut. Dengan demikian kaum muslimin pun telah mendapatkan kemudahan jalan menuju syurga melalui aktifitas pendidikan sebagaimana yang dijanjikan dan juga dipersyaratkan oleh Allah Swt, bahwa:
Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan jalan baginya menuju syurga. (HR. Muslim dan Tirmidzi dari Abu Hurairah)

Barang siapa yang menghendaki kebahagiaan hidup di dunia, maka hendaklah dicapai dengan ilmu. Barang siapa yang menghendaki kebahagiaan hidup di akhirat, maka hendaklah dicapai dengan ilmu. Dan barang siapa menghendaki kebahagiaan keduanya (dunia dan akhirat), maka hendaklah dicapai dengan ilmu. (HR. Thabrani)
Saat ini Indonesia didera oleh berbagai keterpurukan tersebut terjadi karena kekeliruan dalam menyelenggarakan sistem pendidikan nasionalnya. Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Berdasarkan definisi ini maka terdapat beberapa kecakapan hidup yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan.
Berangkat dari definisi di atas maka dapat difahami bahwa secara formal sistem pendidikan indonesia diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian, sesungguhnya sistem pendidikan indonesia saat ini tengah berjalan di atas rel kehidupan ‘sekulerisme’ yaitu suatu pandangan hidup yang memisahkan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh, termasuk dalam penyelenggaran sistem pendidikan. Meskipun, pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan) yang ada sebagaimana terungkap dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Perlu difahami bahwa sekularisme bukanlah pandangan hidup yang tidak mengakui adanya Tuhan. Melainkan, meyakini adanya Tuhan sebatas sebagai pencipta saja, dan peranan-Nya dalam pengaturan kehidupan manusia tidak boleh dominan. Sehingga manusia sendirilah yang dianggap lebih berhak untuk mendominasi berbagai pengaturan kehidupannya sekaligus memarjinalkan peranan Tuhan.
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD 1945, maupun dalam regulasi derivatnya seperti UU No.2/1989 tentang Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU No.20/2003, UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta berbagai rancangan UU dan PP yang kini tengah di persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar, RPP Pendidikan Dasar dan Menengah, dsb). Kemudian dalam cakupan yang lebih operasional, maka peraturan menteri; peraturan daerah yang dibuat para gubernur, walikota/bupati; serta keseriusan para anggota DPRD juga memiliki andil yang besar untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan nasional dalam lingkup daerah. Adapun berkembangnya dinamika sosial sebagai bentuk aksi-reaksi masyarakat terhadap keberlangsungan berbagai bidang kehidupan (politik, ekonomi, sosial-budaya, bahkan ideologi) ditengah-tengah mereka juga turut mempengaruhi dinamika pendidikan, karena berbagai bidang kehidupan tersebut realitasnya merupakan subsistem yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam suatu sistem yang lebih besar yaitu sistem pemerintahan. Pendidikan merupakan salah satu subsistem yang sentral, sehingga senantiasa perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan dalam menjaga kontinuitas proses kehidupan dalam berbagai aspek di tengah-tengah masyarakat (negara) tersebut (input-proses-output). Demikian, dalam upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional ternyata memerlukan adanya perbaikan pula dalam aspek sistemik (regulasi) serta meningkatnya kontrol sosial dari masyarakat.
Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Menanggapi hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (Kompas,5/9/2001).
Kemudian berdasarkan laporan dari United Nations Development Program (UNDP) tahun 2004 dan 2005, menyatakan bahwa Indeks pembangunan manusia di Indonesia ternyata tetap buruk. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke-111 dari 175 negara ditambah wilayah khusus Hong Kong dan wilayah pendudukan Palestina yang diteliti Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sedangkan tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Posisi tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004, Indonesia menempati posisi di bawah negara-negara miskin seperti Kirgistan (110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108). Data yang termuat dalam situs www.undp.org/hdr2004 terasa menyakitkan jika posisi Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara anggota ASEAN lainnya. Singapura (25), Brunei Darussalam (33) Malaysia ( 58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83). Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam (112) dan lebih baik dari Kamboja (130), Myanmar (132) dan Laos (135) (www.suara pembaruan.com/16 juli 2004 dan Pan Mohamad Faiz. 2006).
Kondisi ini menunjukan adanya hubungan yang berarti antara penyelenggaraan pendidikan dengan kualitas pembangunan sumber daya manusia indonesia yang dihasilkan selama ini, meskipun masih ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya.
II. PEMETAAN MASALAH PENDIDIKAN
Dalam memetakan masalah pendidikan maka perlu diperhatikan realitas pendidikan itu sendiri yaitu pendidikan sebagai sebuah subsistem yang sekaligus juga merupakan suatu sistem yang kompleks. Gambaran pendidikan sebagai sebuah subsistem adalah kenyataan bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang berjalan dengan dipengaruhi oleh berbagai aspek eksternal yang saling terkait satu sama lain. Aspek politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan-keamanan, bahkan ideologi sangat erat pengaruhnya terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, begitupun sebaliknya. Sedangkan pendidikan sebagai suatu sistem yang kompleks menunjukan bahwa pendidikan di dalamnya terdiri dari berbagai perangkat yang saling mempengaruhi secara internal, sehingga dalam rangkaian input-proses-output pendidikan, berbagai perangkat yang mempengaruhinya tersebut perlu mendapatkan jaminan kualitas yang layak oleh berbagai stakeholder yang terkait.
A. Permasalahan Pendidikan Sebagai Suatu Sub-Sistem
Sebagai salah satu sub-sistem di dalam sistem negara/ pemerintahan, maka keterkaitan pendidikan dengan sub-sistem lainnya diantaranya ditunjukan sebagai berikut:
Pertama, berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di tengah-tengah kehidupan telah membentuk paradigma pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yang harus disertai dengan adanya sejumlah pengorbanan ekonomis (biaya) oleh rakyat kepada negara. Pendidikan dijadikan sebagai jasa komoditas, yang dapat diakses oleh masyarakat (para pemilik modal) yang memiliki dana dalam jumlah besar saja.
Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003 Pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan bahwa (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan dalam pasal 54 disebutkan pula (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, terlihat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkan dari negara kepada masyarakat dengan mekanisme BHP (lihat RUU BHP dan PP tentang SNP No.19/2005) yaitu adanya mekasnisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan Otonomi Pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bashwir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Kenyataan yang menunjukan bahwa penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merupakan jasa komoditas adalah data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya langsung dan tak langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat (selain orang tua/ siswa) hanya berkisar antara 12,22%-36,65% dari biaya pendidikan total (Koran Tempo, 07/03/2007). Menurut laporan dari bank dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan nasionalnya padahal pada saat yang sama pemerintah India telah dapat menanggung pembiayaan pendidikan 89%. Bahkan jika dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah. (www.worldbank.com)
Kedua, berlangsungnya kehidupan sosial yang berlandasakan sekulerisme telah menyuburkan paradigma hedonisme (hura-hura), permisivisme (serba boleh), materialistik (money oriented), dan lainnya di dalam kehidupan masyarakat. Motif untuk menyelenggarakan dan mengenyam pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat saat ini lebih kepada tujuan untuk mendapatkan hasil-hasil materi ataupun keterampilan hidup belaka (yang tidak dikaitkan dengan tujuan membentuk kepribadian (shaksiyah) yang utuh berdasarkan pandangan syari’at islam). Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003 pasal 3 yang menunjukan paradigma pendidikan nasional, dalam bab VI menjelaskan tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang membedakan antara pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Selain itu dapat pula dilihat dalam regulasi derivatnya seperti PP tentang SNP No.19/2005, RUU Wajib Belajar dan RUU BHP.
Dalam paradigma materialistikpun indikator keberhasilan belajar siswa setelah menempuh proses pendidikan dari suatu jenjang pendidikan saat ini adalah dengan perlakuan yang sama secara nasional pemerintah mengukurnya berdasarkan perolehan angka Ujian Nasional (UN) yang dahulu disebut sebagai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), indikator itupun hanya pada tiga mata pelajaran saja (Matematika/Ekonomi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris) yang ketiganya tersebut berbasis pada aspek kognitif (pengetahuan). Pemerintah (Mendiknas) menilai bahwa UN sangat tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur standar pendidikan, dan hasil UN sangat riil untuk dijadikan alat meningkatkan mutu pendidikan (Senin 12/2/07. www.indonesia.go.id). Di sisi lain, aspek pembentukan kepribadian (shaksiyah) yang utuh dalam diri siswa, tidak pernah menjadi indikator keberhasilan siswa dalam menempuh suatu proses pendidikan, sekalipun dalam sekolah yang berbasis agama (lihat standar kompetensi dan kelulusan siswa dalam PP No.19/2005).
Fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja (pelajar) yang di antara akibatnya menjerumuskan para pelajar pada seks bebas, terlibat narkotika, perilaku sarkasme/kekerasan (tawuran, perpeloncoan), dan berbagai tindakan kriminal lainnya (pencurian, pemerkosaan, pembunuhan) yang sering kita dapatkan beritanya dalam tayangan berita kriminal di media massa (TV dan koran khususnya), merupakan sebuah keadaan yang menunjukan tidak relevannya sistem pendidikan yang selama ini diselenggarakan dengan upaya membentuk manusia indonesia yang berkepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional sendiri (Psl.2 UU No.20/2003), karena realitas justru memperlihatkan kontradiksinya. Siswa sebagai bagian dari masyarakat mendapatkan pendidikan di sekolah dalam rangka mempersiapkan mereka agar dapat lebih baik ketika menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Namun karena kehidupan di tengah-tengah masyarakat secara umum berlangsung dengan sekuler, ditambah lagi dengan proses pendidikan dalam satuan pendidikan dalam kerangka sekulerisme juga, maka siklus ini akan semakin mengokohkan kehidupan sekulerisme yang makin meluas. Oleh karenanya standar kelulusan secara nasional bagi siswa, hendaknya juga melibatkan assesment (penilaian) terhadap aspek kepribadian (pola fikir dan perilaku) yang telah terbentuk dalam individu siswa berdasarkan hasil pendidikan (akhlak) di sekolahnya, selain juga assesment terhadap keterampilan yang telah dimiliki siswa untuk menempuh kehidupan di dalam masyarakat.
Ketiga, berlangsungnya kehidupan politik yang oportunistik telah membentuk karakter politikus machiavelis (melakukan segala cara demi mendapatkan keuntungan) di kalangan eksekutif dan legislatif termasuk dalam perumusan kebijakan pendidikan indonesia. Perumusan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang sudah berlangsung sejak 2004 dinilai oleh pengamat ekonomi Tim Indonesia Bangkit (TIB) Revrisond Bashwir sebagai agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi sektor pendidikan. Semua satuan pendidikan (sekolah) kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Selain itu dalam beberapa kebijakan operasional sisdiknas yang dikeluarkan pemerintah ternyata kadangkala didukung pula oleh dana yang jumlahnya tidak sedikit, meskipun dalam implementasinya banyak masyarakat yang menilai sering terjadi salah sasaran bahkan penyimpangan. Sebagai contoh kebijakan Mendiknas, Bambang Sudibyo yang tetap melaksanakan UN pada tahun ajaran 2005/2006 ternyata berkaitan dengan dana yang tersedia untuk program tersebut sangat besar, padahal berbagai aliansi masyarakat telah mengajukan penolakan. Diantaranya, Koalisi Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP), National Education Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), The Center for the Betterment Indonesia (CBE), Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI), Forum Aksi Guru Bandung (FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang (FKGKT), Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education Club (JTEC), dan Indonesia Corruption Watch (ICW), berdasarkan kajian terhadap UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan (www.tokohindonesia.com). Bahkan saat ini untuk UN 2006/2007 pemerintah telah mengalokasikan subsidi dana Rp 244 milyar, untuk subsidi siswa SMP Rp 136 miliar, siswa SMA/MA Rp 93 miliar dan Rp 15 miliar lainnya untuk honor tim pemantau independen. Dengan adanya subsidi tersebut Mendiknas menyatakan bahwa otomatis peserta UN tidak dipungut biaya apapun alias gratis (Senin 12/2/07. www.indonesia.go.id). Dalam operasionalnya dana tersebut diperuntukan juga untuk pembuatan soal, pencetakan dan penggandaan soal (yang tentu melibatkan perusahaan rekanan) serta hal-hal lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan UN (Permendiknas No. 45/2006).
Demikianlah uraian problematika pendidikan nasional yang ditinjau dari eksistensinya sebagai suatu sub-sistem (sistem cabang) ternyata erat kaitannya dengan pengaruh dari sub-sistem yang lain (ekonomi, politik, sosial-budaya, ideologi, dsb). Sistem pendidikan nasional juga merupakan bagian dari penyelenggaraan sistem kehidupan di Indonesia saat ini.
B. Permasalahan Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem Kompleks
Dalam kaitan pendidikan sebagai suatu sistem, maka permasalahan pendidikan nasional dapat diuraikan sebagai berikut:
A. Pemerataan Pendidikan
1. Keterbatasan Aksesibilitas dan Daya Tampung
Gerakan wajib belajar 9 tahun merupakan gerakan pendidikan nasional yang baru dicanangkan oleh pemerintahan Suharto pada tanggal 2 Mei 1994 dengan target tuntas pada tahun 2005, namun kemudian karena terjadi krisis pada tahun 1997-1999 maka program ini diperpanjang hingga 2008/2009. Sasaran program ini berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam PP No.7/2005 adalah dengan target Angka Partisipasi Kasar (APK) 94% (APK= perbandingan antara jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia tertentu) yaitu meningkatnya siswa SLTP dari 3,67 juta orang pada tahun 2004/2005 menjadi 4,04 juta orang pada tahun 2009. Sedangkan target Direktorat SMP, Dirjen Mandikdasmen Depdiknas adalah APK 95% pada tahun 2008 yang artinya 1,9 juta anak harus terlayani ke SMP. Tahun 2005, APK SMP baru mencapai 85,22% yang menunjukan adanya selisih 9,78% dari target 95% sehingga perlu adanya pencapaian kenaikan rerata APK sebesar 3,26% pada setiap tahunnya. Tahun 2006 ditargetkan adanya kenaikan 4,64% atau 526.000 anak usia 13-15 tahun harus tertampung di jenjang SLTP/ Sederajat (Panduan KKN Wajar Dikdas 9 Tahun, UPI 2006).
Berkaitan dengan pencapaian APK dan APM, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas,2003). Namun, baru-baru ini pemerintah menyatakan optimismenya bahwa penuntasan wajib belajar akan berjalan sukses pada 2008. Keyakinan ini didasarkan atas indikator pencapaian APM SD dan APK SMP pada akhir 2006 berturut-turut mencapai 94,73 persen dan 88,68 persen dari 95 persen target yang dicanangkan pada 2008 (8/3/2007,www.tempointeraktif.com).
Kondisi ini sebenarnya belum menunjukan bahwa pemerintah telah berhasil dalam menyelesaikan problematika aksesibilitas pendidikan secara tuntas, karena indikator angka-angka di atas belum merepresentasikan aksesibilitas terhadap seluruh warga negara usia sekolah SD dan SMP.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004, menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah anak usia 7-12 tahun adalah 96,77 persen, usia 13-15 tahun mencapai 83,49 persen, dan anak umur 16-18 tahun 53,48 persen. Hasil riset UNDP 2004, yang kemudian dipublikasikan dalam Laporan Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2006, juga memperlihatkan gejala serupa. Rasio partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf. (www.republikaonline.com)
2. Kerusakan Sarana/ Prasarana Ruang Kelas
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka bagaimana mungkin proses pendidikan dapat berlangsung secara efektif?
Klaim bahwa pemerintah daerah di lingkungan jawa barat memiliki kemampuan yang terbatas dalam menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diungkapkan di atas, tentu merupakan koreksi bagi pemerintah itu sendiri, yaitu mengapa selama ini alokasi untuk program yang lain alokasinya cukup besar, tetapi untuk program pendidikan jauh lebih kecil. Sebagaimana misalnya dalam APBD Kota Bandung 2007 alokasi anggaran untuk sebuah tim sepakbola Persib Bandung yang lebih bersifat hobi dan penghamburan ketimbang suatu program pembangunan besarannya ternyata mencapai Rp 15 Milyar, bahkan jumlah tersebut masih dianggap kurang.
3. Kekurangan Jumlah Tenaga Guru
Guru sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem pendidikan, merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh negara. Misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini jumlah guru dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang.
sebagai contoh dalam lingkup Jawa Barat saja menurut Drs. H. Iim Wasliman, M.Pd., M.Si. (Kadisdik Jabar tahun 2002) bahwa kondisi minimnya jumlah guru dibandingkan kebutuhan yang ada sudah sering dilontarkan. Bukan hanya di tingkat daerah, tapi juga telah menjadi persoalan nasional. Di Jawa Barat sendiri, masih dibutuhkan sekira 64 ribu guru guna mengisi kekurangan di sekolah-sekolah. Dengan perincian, 40 ribu guru untuk sekolah dasar (SD), 18 ribu untuk sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), 6 ribu untuk sekolah menengah umum (SMU), dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Kurangnya jumlah guru ini jelas merupakan persoalan serius karena guru adalah ujung tombak pendidikan. Kekurangan tersebut membuat beban guru semakin bertumpuk sehingga sangat berpotensi mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan. Sementara itu, siapa pun mungkin akan setuju mengatakan bahwa pendidikan adalah salah satu fondasi dalam membangun bangsa. Kualitas sumber daya manusia bergantung pada proses pendidikan yang dilaluinya. Jika proses itu berjalan buruk, jangan harap kualitas yang dihasilkan akan baik. Dengan kata lain, teruslah bermimpi menjadi bangsa besar jika pendidikan tidak menjadi prioritas dalam proses pembangunan (Pikiran Rakyat, 06/10/2002)
Sementara itu Dany Setiawan mengungkapkan bahwa saat ini terdapat masalah kekurangan guru sebanyak 88.500 lebih terutama untuk jenjang pendidikan dasar di Jabar, sementara di sisi lain sebanyak 48.000 guru bantu tengah menanti pengangkatan, dimana persoalan pengangkatan guru menjadi pegawai negeri sipil (PNS) merupakan wewenang pusat. Untuk sementara, melalui APBD pemprov jabar telah menganggarkan tenaga guru bantu sementara yang diberikan tunjangan sebesar Rp 1 juta per orang. Namun, jumlahnya yang hanya kurang lebih 1.500 tentu saja masih belum bisa menutupi kekurangan yang mencapai 80 ribu lebih. Sedangkan anggota Komisi E DPRD Jabar yang membidangi masalah pendidikan Ani Rukmini menegaskan, Pemprov Jabar semestinya mendesak secara kuat kepada pemerintah pusat untuk segera memunculkan solusi atas persoalan kekurangan tenaga guru serta kepastian nasib para guru bantu, bahwa kekurangan tenaga guru ini harus segera ditutupi secara permanen, jangan dengan mekanisme ‘tambal sulam’ seperti saat ini. Pemprov Jabar pada APBD 2005 memang sudah menganggarkan dana untuk menggunakan guru bantu secara sementara di daerah pelosok dengan gaji masing-masing sebesar Rp 1 juta. Tapi, jumlahnya tidak memadai yakni hanya 1.500 sampai 1.600 orang yang direkrut.
B. Pengelolaan dan Efisiensi
Masalah pengelolaan dan efisiensi pendidikan diantaranya dikelompokan berdasarkan tiga hal yaitu:
1. Kinerja dan Kesejahteraan Guru Belum Optimal
Kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja yang semakin membaik di kalangan pendidik. Berdasarkan UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 sampai dengan 16 menyebutkan tentang Hak dan Kewajiban diantaranya, bahwa hak guru dalam memperoleh penghasilan adalah di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, mendapatkan promosi dan penghargaan, berbagai fasilitas untuk meningkatkan kompetensi, berbagai tunjangan seperti tunjangan profesi, fungsional, tunjangan khusus bagi guru di daerah khusus, serta berbagai maslahat tambahan kesejahteraan.
Undang-undang tersebut memang sedikit membawa angin segar bagi kesejahteraan masyarakat pendidik, namun dalam realisasinya ternyata tidak semanis redaksinya. Sebagai contoh, Kompas (6/2/2007) memberitakan bahwa sejumlah guru di Kota Bandung menyesalkan pernyataan Menteri Pendidikan Nasional yang berencana memperberat penerimaan insentif rutin dan mengaitkan dengan syarat sertifikasi. Pandangan keberatan ini beberapa di antaranya dilontarkan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Bandung Kustiwa dan Sekretaris Jendral Forum Aksi Guru Independen (FAGI) Kota Bandung Iwan Hermawan. Keduanya sependapat, tunjangan fungsional tidak ada kaitan sama sekali dengan syarat sertifikasi guru. Hal ini karena keberadaan tunjangan fungsional dan profesi secara prinsip sebetulnya tidak saling terkait. Tunjangan fungsional lebih dianggap sebagai kebijakan yang melekat secara otomatis pada profesi guru, terlepas sejauhmana profesionalnya bersangkutan. Jadi, jelas berbeda dengan tunjangan profesi yang pada prinsipnya bertujuan memacu profesionalitas guru. Sementara itu, Sekjen FAGI Iwan Hermawan mengatakan, sikap Mendiknas tentang pemebrian tunjangan fungsional yang berpijakan pada keterbatasan anggaran dianggap sebuah inkonsistensi.
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Baru-baru ini Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan akan menaikkan tunjangan guru dalam APBN 2007. Guru PNS dinaikkan Rp 100 ribu, sedangkan non-PNS dari tunjangan Rp 115.000 naik menjadi Rp 200.000. Sebanyak 556.418 guru madrasah non-PNS mendapat tunjangan fungsional sebesar Rp 200 ribu per orang., kenaikan tunjangan fungsional sebesar Rp 100.000 per orang. Kenaikan akan dibayarkan melalui Dana Alokasi Umum (DAU).
Dengan kenaikan itu, mulai Januari 2007, guru PNS golongan II yang berjumlah 169.001 mendapat tunjangan fungsional sebesar Rp 286.000 per bulan per orang. Golongan III mendapat Rp 327.000 per bulan per orang. Golongan IV menjadi Rp 389.000 per orang per bulan. Namun dalam APBN 2007, alokasi tersedia baru Rp 223.200 untuk golongan II, Rp 272.400 untuk golongan III dan Rp 346.800 untuk golongan IV. Dengan kenaikan tunjangan guru tersebut, anggaran pendidikan 2007 meningkat. Dari Rp 40.255.857.973 pada 2006 menjadi Rp 44.058.392.664 untuk 2007. (http://www.perbendaharaan.go.id/20-02-2007)
Permasalahan kesejahteraan guru biasanya akan berimplikasi pada kinerja yang dilakukannya dalam melaksanakan proses pendidikan. Berdasarkan hasil survei dari Human Development Index (HDI) menunjukkan bahwa sebanyak 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% guru SMU, dan 34% guru SMK belum memenuhi standardisasi mutu pendidikan nasional. Lebih berbahaya lagi jika dilihat dari hasil temuan yang menunjukkan 17,2% guru di Indonesia mengajar bukan pada bidang keahlian mereka. (Toharuddin, Oktober 2005).
Guru sebagai tenaga kependidikan juga memiliki peran yang sentral dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Sebagai sebuah pekerjaan, tentu dengan menjadi seorang guru juga diharapkan dapat memperoleh kompensasi yang layak untuk kebutuhan hidup. Dalam teori motivasi, pemberian reward dan punishment yang sesuai merupakan perkara yang dapat mempengaruhi kinerja dan mutu dalam bekerja, termasuk juga perlunya jaminan kesejahteraan bagi para pendidik agar dapat meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang selama ini masih terpuruk. Dalam hal tunjangan, sudah selayaknya guru mendapatkan tunjangan yang manusiawi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya mengingat peranan dari seorang guru yang begitu besar dalam upaya mencerdaskan suatu generasi.
2. Proses Pembelajaran Yang Konvensional
Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif.
Dalam PP No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Kenyataan saat ini, banyak diantara pendidik di kota bandung yang masih melaksanakan proses pembelajaran secara konvensional bahkan diantaranya belum menguasai teknologi informasi seperti komputer dan internet. Sebagaimana di beritakan dalam www.Pikiran Rakyat.com (03/2004) bahwa ternyata di kota Bandung banyak guru SD yang belum menguasai komputer dan internet. Menurut Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) Kota Bandung, hanya sebagian kecil guru yang sudah menguasai teknologi tersebut, padahal menguasai komputer akan mempermudah tugas guru, misalnya ketika memproses nilai-nilai siswa. Terutama guru-guru yang sudah lama mengabdi, sedikit sekali menguasai komputer dan mengakses internet. Apalagi guru-guru SD, sehingga sekarang ini pada umumnya kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi ini kalah oleh para siswanya. Padahal, dengan penguasaan teknologi informasi tersebut akan mempermudah tugas rutin para guru. Selama ini, tugas tersebut dilakukan guru secara manual. Kurangnya penguasaan komputer tersebut bukan karena tidak tersedianya sarana komputer di sekolah, namun karena kurang kemampuan dan kemauan. Sehingga, komputer tersebut lebih banyak digunakan oleh bagian tata usaha. Akibatnya, saat seorang guru yang memerlukan jasa komputer, cenderung untuk minta bantuan tenaga karyawan tata usaha.
Sudah selayaknya profesi sebagai seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat mengembangkan model-model pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.
3. Jumlah dan Kualitas Buku Yang Belum Memadai
Ketersediaan buku yang berkualitas merupakan salah satu prasarana pendidikan yang sangat penting dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana dalam PP No 19/2005 tentang SNP dalam pasal 42 tentang Standar Sarana dan Prasarana disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (ayat 1).
Secara teknis, pengadaan buku pelajaran di sekolah tidak lagi boleh dilakukan oleh sekolah dengan menjual buku-buku kepada siswa secara bebas, melainkan harus sesuai dengan buku sumber yag direkomendasikan oleh pemerintah. Dalam tahun 2007 ini, pemerintah melalui Ketua Satker Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM Dinas Pendidikan Jabar, Drs. Ismail M.Z menyatakan bahwa Dana bantuan operasional sekolah (BOS) buku akan dicairkan 22 Februari 2007 atau satu minggu setelah dana BOS reguler cair. Sedangkan dana BOS buku tahun 2007 untuk Jawa Barat mencapai Rp 131, 088 miliar lebih bagi 5.958.577 siswa, masing-masing untuk tingkat SD, MI, dan SDLB mencapai 4.618.979 siswa dan tingkat SMP, MTs, dan SMPLB sebanyak 1.339.598 siswa.
Dana BOS buku 2007 akan dicairkan karena dana BOS buku tahun 2006 sudah terserap semuanya. Meski dalam pelaporan serapan dana BOS buku 2006 belum masuk semua ke Satker PKPS BBM tingkat kabupaten/kota. Unit cost untuk setiap siswa dari BOS buku ini Rp 22.000 yang diperuntukkan untuk membeli satu buah jenis buku. Jadi kalau dijumlahkan dana BOS buku, baik untuk siswa tingkat SD maupun SMP sekitar Rp 131,088 miliar lebih. Selain itu, buku yang dibeli juga harus sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 11 Tahun 2005. Jumlah penerbit yang telah mendapatkan sertifikat dan sesuai menurut Permendiknas No. 11 Tahun 2005 sebanyak 98 penerbit dan ratusan judul buku. Ke-98 penerbit tersebut jika dirinci, untuk penerbit buku matematika sebanyak 31 penerbit, bahasa Indonesia sebanyak 45 penerbit, dan bahasa Inggris sebanyak 22 penerbit.
C. Pengelolaan dan efisiensi

1. Penyelenggaraan Otonomi Pendidikan
Pemerintah telah menetapkan kebijakan otonomi pendidikan, sebagaimana mengacu pada UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan yang menyebutkan: (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.
Berdasarkan pasal di atas maka penyelenggaraan pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab negara melainkan diserahkan kepada lembaga pendidikan itu sendiri. Dalam penjelasan pasal 3 ayat 2 RUU Badan Hukum Pendidikan disebutkan bahwa Kemandirian dalam penyelengaraan pendidikan merupakan kondisi yang ingin dicapai melalui pendirian BHP, dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi pada pendidikan tinggi. Hanya dengan kemandirian, pendidikan dapat menumbuhkembangkan kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas, dan mobilitasnya. Artinya pemerintah menilai bahwa selama ini terhambatnya kemajuan pendidikan indonesia diantaranya karena pengelolaan pendidikan yang sentralistis, sehingga perlunya kebijakan desentralisasi kewenangan (MBS dan otonomi pendidikan) untuk memajukan pendidikan indonesia.
Kenyataannya, kebijakan tersebut menuai berbagai sikap kontra dari masyarakat karena dinilai sarat dengan tekanan pihak asing (negara donor) yang menghendaki privatisasi lembaga –lembaga yang dikelola negara termasuk lembaga pendidikan, sehingga negara pun akan lepas tangan dari tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan secara penuh. Sebagaimana diungkapkan oleh komisi hukum nasional (KHN) bahwa dalam RUU BHP versi yang baru, semua bentuk pendidikan baik yang diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah daerah atau pemerintah harus berbentuk badan hukum yang sama yaitu badan hukum pendidikan. Oleh karenanya, jika RUU BHP disahkan – maka peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan pemerintah tentang BHMN tidak akan berlaku lagi. Perubahan yang terjadi antara konsep RUU lama dan yang baru, dapat diamati dari bunyi pasal 1 ayat 7 (versi lama), yang mengatur bahwa ”Penyelenggara adalah satuan pendidikan berstatus Badan Hukum Pendidikan (BHP)” dan “Semua satuan pendidikan tinggi harus berstatus Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT) (Pasal 2 ayat (1)”. Selain itu, disebutkan juga bahwa “Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat berstatus Badan Hukum Pendidikan Dasar Menengah (BHPDM)”.
Yang menjadi persoalan, apakah RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan jawaban yang tepat bagi pengembangan pendidikan tinggi kedepan? Bagaimana RUU ini meletakkan peran pemerintah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi serta bagaimana mengkonstruksi hubungan antara penyelenggara pendidikan (yayasan, perkumpulan, badan wakaf, pemerintah, dll) dengan satuan pendidikan? Apakah RUU BHP memberikan jaminan bagi terwujudnya pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan dalam rangka menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global ? Selain itu kebijakan otonomi pendidikan sendiri merupakan hal belum tentu dapat meningkatkan kualitas pendidikan, terutama bila makna otonomi itu sendiri ternyata bentuk lepas tangan pemerintah dengan menyerahkan penyelenggaraan pendidikan secara lebih besar porsinya kepada masyarakat. Padahal hakikatnya penyelenggaraan pendidikan merupakan tanggung jawab negara/ pemerintah sebagai pihak yang diamanahi rakyat untuk mengatur urusan mereka dengan sebaik mungkin.
2. Keterbatasan Anggaran
Ketersediaan anggaran yang memadai dalam penyelenggaran pendidikan sangat mempengaruhi keberlangsungan penyelenggaraan tersebut. Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 49 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (ayat 1).
Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana pendidikan dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 adalah sebesar Rp 427,6 triliun. Dari jumlah tersebut, jumlah yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp36,7 triliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggaran pendidikan adalah 20% dari Rp. 427,6 triliun atau sebesar Rp. 85,5 triliun, maka masih terdapat defisit atau kekurangan kebutuhan dana pendidikan sebesar Rp 47,9 triliun. Skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 (Pan Mohamad Faiz;2006).
Untuk tahun 2007 ini saja alokasi APBN untuk anggaran sektor pendidikan hanya mencapai 11,8 persen. Nilai ini setara dengan Rp 90,10 triliun dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun.(www.tempointeraktif.com)
Permasalahan lainnya yang juga penting untuk diperhatikan adalah alasan pemerintah untuk berupaya merealisasikan anggaran pendidikan 20% secara bertahap karena pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengalokasikan 20% secara sekaligus dari APBN/APBD. Padahal kekayaan sumber daya alam baik yang berupa hayati, sumber energi, maupun barang tambang jumlahnya melimpah sangat besar. Tetapi karena selama ini penanganannya secara kapitalistik maka return dari kekayaan tersebut malah dirampas oleh para pemilik modal.
3. Mutu SDM Pengelola Pendidikan
Sumber daya pengelola pendidikan bukan hanya seorang guru atau kepala sekolah, melainkan semua sumber daya yang secara langsung terlibat dalam pengelolaan suatu satuan pendidikan. Rendahnya mutu dari SDM pengelola pendidikan secara praktis tentu dapat menghambat keberlangsungan proses pendidikan yang berkualitas, sehingga adaptasi dam sinkronisasi terhadap berbagai program peningkatan kualitas pendidikan juga akan berjalan lamban.
Dalam kaitannya dengan regulasi pengelolaan pendidikan maka yang dilakukan oleh pemerintah saat ini mengacu pada UU No.20/2003 dan PP No 19/2005 tentang SNP yang dalam pasal 49 tentang standar pengelolaan oleh satuan pendidikan yang intinya menyebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan dasar dan menengah menerapkan pola Manajemen Berbasis Sekolah, sedangkan untuk satuan pendidikan tinggi menerapkan pola Otonomi Perguruan Tinggi. Standar pengelolaan oleh satuan pendidikan diantaranya satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang : kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus; kalender pendidikan/akademik; struktur organisasi; pembagian tugas diantara pendidik; pembagian tugas diantara tenaga kependidikan; peraturan akademik; tata tertib satuan pendidikan; kode etik hubungan; biaya operasional satuan pendidikan.
Kemudian standar pengelolaan oleh pemerintah daerah (pasal 59) meliputi penyusunan rencana kerja pendidikan dengan memprioritaskan: wajib belajar; peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah; penuntasan pemberantasan buta aksara; penjaminan mutu pada satuan pendidikan; peningkatan status guru sebagai profesi; akreditasi pendidikan; peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat; dan pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM) bidang pendidikan.
Sedangkan standar pengelolaan oleh pemerintah (pasal 60) meliputi penyusunan rencana kerja tahunan dengan memprioritaskan program: wajib belajar; peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi; penuntasan pemberantasan buta aksara; penjaminan mutu pada satuan pendidikan; peningkatan status guru sebagai profesi; peningkatan mutu dosen; standardisasi pendidikan; akreditasi pendidikan; peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan lokal, nasional dan global; pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM) bidang pendidikan; dan penjaminan mutu pendidikan nasional.
Dengan memahami kerangka dasar penyelenggaraan pendidikan nasional yang berlandaskan sekulerisme, maka standar pengelolaan pendidikan secara nasionalpun akan sejalan dengan sekulerisme tersebut, semisal adanya mekanisme MBS dan Otonomi PT sebagaimana disebutkan di atas yang merupakan implementasi dari otonomi pendidikan.
D. Relevansi pendidikan

1. Belum Menghasilkan Life Skill Yang Sesuai
Dalam kaitannya dengan life skill yang dihasilkan oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan, maka berdasarkan PP No.19/2005 sebagaimana dalam pasal 13 bahwa:1) kurikulum untuk SMP/MTs/ SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukan pendidikan kecakapan hidup. 2) pendidikan kecakapan hidup yang dimaksud meliputi kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional.
Selain itu ditetapkan pula standar kompetensi lulusan, dalam pasal 26 ditetapkan sebagai berikut: 1). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri, dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 2). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, akhlak mulia, serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 3). Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan kepribadianm akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. 4). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi dan seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan.
Adapun kriteria penilaian hasil belajar dapat dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan, maupun pemerintah. Penilaian hasil belajar oleh pendidik diatur dalam pasal 64 antara lain penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama, akhlak mulia, pendidikan kewarganegaraan dan akhlak mulia dilakukan melalui: a. pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik, serta. b. Ulangan, ujian, dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai. Penilaian hasil belajr kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi psikomotorik peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan dolakukan melalui: a. Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk meniali perkembangan psikomotorik dan afektif peserta didik, dan; b. Ulangan dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dalam menciptakan life skill yang diharapkan dimiliki oleh siswa ukuran yang digunakan adalah penilaian-penilaian di atas. Namun kenyataan sebaliknya justru menunjukan bahwa korelasi antara proses pendidikan selama ini dengan pembentukan kepribadian siswa merupakan hal yang dipertanyakan? Kasus tawuran antar pelajar, seks bebas, narkoba, dan berbagai masalah sosial lainnya merupakan indikator yang relevan untuk mempertanyakan hal ini.
2. Pendidikan Yang Belum Berbasis Pada Masyarakat dan Potensi Daerah
Struktur kurikulum yang ditetapkan berdasarkan UU No.20/2003 dalam Pasal 36 tentang Kurikulum menyebutkan: (1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. peningkatan iman dan takwa; b. peningkatan akhlak mulia; c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan dunia kerja; g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama; i. dinamika perkembangan global; dan j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam PP No.19/2005 antara lain dalam pasal 6 yang menyebutkan:1) kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan akhlak mulia, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan kesehatan. 6). Kurikulum dan silabus SD/MI/SDLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis. Kecakapan berhitung, serta kemampuan berkomunikasi.
Masyarakat dan lingkungan tempat tinggal merupakan bagian yang terintegrasi dengan siswa sebagai peserta didik. Proses pendidikan yang sebenarnya tentu melibatkan peranan keluarga, lingkungan-masyarakat dan sekolah, sehingga jika salah satunya tidak berjalan dengan baik maka dapat mempengaruhi keberlangsungan pendidikan itu sendiri.
3. Belum Optimalnya Kemitraan Dengan Dunia Usaha/ Dunia Industri
Berkaitan dengan peranan masyarakat dalam pendidikan dalam UU No.20/2005 Sisdiknas pasal 54 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan menyebutkan : (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. (3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sebagai contoh, sebagaimana diungkapkan oleh Kadisdik Jabar, Dadang Dally bahwa dunia usaha dan dunia industri merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Perihal kegiatan kerjasama dengan dunia usaha sinergitas telah mulai dilakukan. Prosesnya telah memasuki tahap inventarisasi. Implementasinya, dunia usaha didorong untuk membangun sekolah, bukan menggalang dana dari dunia usaha. (www.bapeda-jabar.go.id/2006)
Hal yang justru memunculkan kerawanan saat ini adalah dengan adanya RUU BHP maka peranan pihak swasta (pengusaha) mendapatkan akses yang lebih luas untuk mengelola pendidikan, sehingga bagaimana jadinya kalau kemitraan dengan DU/DI tersebut ternyata menempatkan pengusaha ataupun perusahaan sebagai pihak yang berinvestasi dalam lembaga pendidikan dengan menuntut adanya return yang sepadan dari investasinya tersebut? Kondisi ini pada akhirnya akan memperkokoh keberlangsungan kapitalisasi pendidikan.
Dalam kaitan antara penyerapan DU/DI terhadap lulusan sekolah maka berdasarkan data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
III. PEMECAHAN MASALAH

2.1. Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Penyelesaian itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Hal ini sangat penting dan utama. Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan diselesaikan, baik itu masalah aksesibilitas pendidikan, relevansi pendidikan, pengelolaan dan efisiensi, hingga kualitas pendidikan
Solusi masalah mendasar itu adalah dengan melakukan pendekatan sistemik yaitu secara bersamaan melakukan perubahan paradigma dalam penyelenggaraan sistem ekonomi yang kapitalistik menjadi islami, tatanan sosial yang permisif dan hedonis menjadi islami, tatanan politik yang oportunistik menjadi islami, dan ideologi kapitalisme-sekuler menjadi mabda islam, sehingga perubahan sistem pendidikan yang materialistik juga dapat diubah menjadi pendidikan yang dilandasi oleh aqidah dan syariah islam sesuai dengan karakteristiknya. Perbaikan ini pun perlu dilanjutkan dalam perbaikan aspek formalitas, yaitu dengan dibuatnya regulasi tentang pendidikan yang berbasiskan pada konsep syari’ah islam.
Upaya perbaikan secara tambal sulam dan parsial, semisal perbaikan kurikulum, kualitas pengajar, sarana-prasarana dan sebagainya tidak akan dapat berjalan dengan optimal sepanjang permasalahan mendasarnya belum diperbaiki.
Salah satu bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dengan cara menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan (Syari’ah) Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
2.2 Solusi Untuk Permasalahan Derivat
Seperti diuraikan di atas, selain adanya masalah mendasar, sistem pendidikan di Indonesia juga mengalami masalah-masalah cabang, antara lain :

1) Keterbatasan aksesibilitas dan daya tampung,
2) Kerusakan sarana dan prasarana,
3) Kekurangan tenaga guru,
4) Kinerja dan kesejahteraan guru yang belum optimal,
5) Proses pembelajaran yang konvensional,
6) Jumlah dan kualitas buku yang belum memadai,
7) Otonomi pendidikan.
8) Keterbatasan anggaran
9) Mutu SDM Pengelola pendidikan
10) Life skill yang dihasilkan tidak sesuai kebutuhan
11) Pendidikan yang belum berbasis masyarakat dan lingkungan
12) Kemitraan dengan DU/DI
Untuk menyelasaikan masalah-masalah cabang di atas, diantaranya juga tetap tidak bisa dilepaskan dari penyelesaian masalah mendasar. Sehingga dalam hal ini diantaranya secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya. Dengan demikian, penerapan ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi kapitalis ataupun sosialis akan menyeleraskan paradigma pemerintah dan masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan sebagai salah satu bentuk kewajiban negara kepada rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber dana (capital). Penerapan sistem politik islam sebagai pengganti sistem politik sekuler akan memberikan paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat sebagai bentuk perjuangan untuk menjamin terlaksananya pengaturan berbagai kepentingan ummat oleh penguasa termasuk diantaranya dalam bidang pendidikan. Sehingga bukan malah sebaliknya menyengsarakan ummat dengan memaksa mereka agar melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan mampu mengkondisikan masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at sehingga peran mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah dengan memberikan tauladan tentang aplikasi nilai-nilai pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.
Secara keseluruhan perbaikan sistem ini akan dapat terlaksana jika pemerintah menyadari fungsi dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Rasulullah Saw bersabda:
Seorang Imam ialah (laksana) penggembala dan Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya) (HR. Muslim)
Kedua, solusi teknis, yakni solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Diantaranya:

Secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik ummat. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintahpun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi. merekrut jumlah tenaga pendidik sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses belajar-mengajar. Penyusunan kurikulum yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’ah (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Melarang segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta menjamin terlaksananya pendidikan yang berkualitas dengan menghasilkan lulusan yang mampu menjalani kehidupan dunia dengan segala kemajuannya (setelah menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi serta seni baik yang berasal dari islam maupun hadharah ’am) dan mempersiapkan mereka untuk mendapatkan bagiannya dalam kehidupan di akhirat kelak dengan adanya penguasaan terhadap tsaqofah islam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
IV. SISTEM PENDIDIKAN BERBASIS SYARI’AH

Seperti diungkapkan di atas, bahwa sistem pendidikan Islam merupakan alternatif solusi mendasar untuk menggantikan sistem pendidikan sekuler saat ini. Bagaimanakah gambaran sistem pendidikan Islam tersebut? Berikut uraiannya secara sekilas.
3.1 Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter (khas) islami. Antara lain:
Pertama, berkepribadian Islam (shaksiyah islamiyah). Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (‘aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam.
Untuk mengembangkan kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu:

1. Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah; akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam.

2. Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya.

3. Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
Kedua, menguasai perangkat ilmu dan pengetahuan (tsaqâfah) Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
1. Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll.

2. Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.
Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni/IPTEKS). Menguasai IPTEKS diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll. Begitu pula dengan penguasaan terhadap seni, dimana seni merupakan sesuatu yang dibutuhkan pula baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menyelaraskan teknologi dengan fitrah manusia yang menyenangi keindahan (sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syara’).

Keempat, memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT. Sebagaimana penguasaan IPTEKS, Islam juga menjadikan penguasaan keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya.
3.2. Pendidikan Islam Adalah Pendidikan Terpadu
Agar keluaran pendidikan menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul. Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang harus menjadi perhatian, yaitu :
Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar.
Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi jika pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya.
Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK hingga PT, muatan tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
Pada tingkat dasar atau menjelang usia baligh (TK dan SD), penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya.
Khalifah Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya, menuliskan, “Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair yang baik.”
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru anaknya, “Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya mewasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya al-Quran, kemudian hapalkan kepadanya al-Quran…”
Di tingkat Perguruan Tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan dipahami cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Ketiga, berorientasi pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target yang harus dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan.
3.3. Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Negara
Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. bersabda: Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Perhatian Rasulullah saw. terhadap dunia pendidikan tampak ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw. telah menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan yang seharusnya milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau memberikan upah kepada para pengajar (yang tawanan perang itu) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat dimaknai, bahwa kepala negara bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan.
Imam Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ihkâm, menjelaskan bahwa kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam, kita akan melihat begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin Atha’ yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas). Seandainya harga 1 gram emas=Rp 100.000,00, maka gaji seorang pendidik yang diberikan oleh Daulah Khilafah sejak 13 abad yang lalu jumlahnya mencapai Rp 6.375.000,00 (subhanallah), sungguh merupakan angka yang fantastis, apalagi jika dibandingkan dengan saat ini dimana berlangsungnya sistem ekonomi kapitalisme telah nyata sangat tidak menghargai peran pendidik, semisal upah yang didapatkan seorang guru honorer hanya berkisar Rp 5.000-30.000 untuk setiap jam pelajaran.
Perhatian para khalifah tidak hanya tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana pendidikan seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan Islam, di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi pada masa Kekhalifahan Islam abad 10 M. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.
Wallahu a’lam bi shawab
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Indonesia memiliki daya saing yang rendah Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain. Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Mahalnya biaya pendidikan.
* Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
* Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasny. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.* Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel.
* Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
* Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
* Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
BAB I: LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang, dan pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesia.
Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya dan program yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, Pendidikan keturunan dan pendidikan lainnya. Serta upaya pembaharuannya meliputi landasan yuridis, Kurikulum dan perangkat penunjangnya, struktur pendidikan dan tenaga kependidikan
Berangkat dari definisi di atas maka dapat difahami bahwa secara formal sistem pendidikan indonesia diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian, sesungguhnya sistem pendidikan indonesia saat ini tengah berjalan di atas rel kehidupan ‘sekulerisme’ yaitu suatu pandangan hidup yang memisahkan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh, termasuk dalam penyelenggaran sistem pendidikan. Meskipun, pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan) yang ada sebagaimana terungkap dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD 1945, maupun dalam regulasi derivatnya seperti UU No.2/1989 tentang Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU No.20/2003, UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta berbagai rancangan UU dan PP yang kini tengah di persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar, RPP Pendidikan Dasar dan Menengah, dsb
Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Menanggapi hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (Kompas,5/9/2001).
Kondisi ini menunjukan adanya hubungan yang berarti antara penyelenggaraan pendidikan dengan kualitas pembangunan sumber daya manusia indonesia yang dihasilkan selama ini, meskipun masih ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya.
BAB II : PERMASALAHAN
Dalam memetakan masalah pendidikan maka perlu diperhatikan realitas pendidikan itu sendiri yaitu pendidikan sebagai sebuah subsistem yang sekaligus juga merupakan suatu sistem yang kompleks. Gambaran pendidikan sebagai sebuah subsistem adalah kenyataan bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang berjalan dengan dipengaruhi oleh berbagai aspek eksternal yang saling terkait satu sama lain. Aspek politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan-keamanan, bahkan ideologi sangat erat pengaruhnya terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, begitupun sebaliknya. Sedangkan pendidikan sebagai suatu sistem yang kompleks menunjukan bahwa pendidikan di dalamnya terdiri dari berbagai perangkat yang saling mempengaruhi secara internal, sehingga dalam rangkaian input-proses-output pendidikan, berbagai perangkat yang mempengaruhinya tersebut perlu mendapatkan jaminan kualitas yang layak oleh berbagai stakeholder yang terkait.
2.1 Permasalahan Pendidikan Sebagai Suatu Sub-Sistem
Sebagai salah satu sub-sistem di dalam sistem negara/ pemerintahan, maka keterkaitan pendidikan dengan sub-sistem lainnya diantaranya ditunjukan sebagai berikut:
Pertama, berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di tengah-tengah kehidupan telah membentuk paradigma pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yang harus disertai dengan adanya sejumlah pengorbanan ekonomis (biaya) oleh rakyat kepada negara. Pendidikan dijadikan sebagai jasa komoditas, yang dapat diakses oleh masyarakat (para pemilik modal) yang memiliki dana dalam jumlah besar saja.
Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003 Pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan bahwa (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan dalam pasal 54 disebutkan pula (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, terlihat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkan dari negara kepada masyarakat dengan mekanisme BHP (lihat RUU BHP dan PP tentang SNP No.19/2005) yaitu adanya mekasnisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan Otonomi Pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Kenyataan yang menunjukan bahwa penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merupakan jasa komoditas adalah data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya langsung dan tak langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat (selain orang tua/ siswa) hanya berkisar antara 12,22%-36,65% dari biaya pendidikan total (Koran Tempo, 07/03/2007). Menurut laporan dari bank dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan nasionalnya padahal pada saat yang sama pemerintah India telah dapat menanggung pembiayaan pendidikan 89%. Bahkan jika dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah. (www.worldbank.com)
Kedua, berlangsungnya kehidupan sosial yang berlandasakan sekulerisme telah menyuburkan paradigma hedonisme (hura-hura), permisivisme (serba boleh), materialistik (money oriented), dan lainnya di dalam kehidupan masyarakat. Motif untuk menyelenggarakan dan mengenyam pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat saat ini lebih kepada tujuan untuk mendapatkan hasil-hasil materi ataupun keterampilan hidup belaka (yang tidak dikaitkan dengan tujuan membentuk kepribadian (shaksiyah) yang utuh berdasarkan pandangan syari’at islam). Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003 pasal 3 yang menunjukan paradigma pendidikan nasional, dalam bab VI menjelaskan tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang membedakan antara pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Selain itu dapat pula dilihat dalam regulasi derivatnya seperti PP tentang SNP No.19/2005, RUU Wajib Belajar dan RUU BHP.
Dalam paradigma materialistikpun indikator keberhasilan belajar siswa setelah menempuh proses pendidikan dari suatu jenjang pendidikan saat ini adalah dengan perlakuan yang sama secara nasional pemerintah mengukurnya berdasarkan perolehan angka Ujian Nasional (UN) yang dahulu disebut sebagai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), indikator itupun hanya pada tiga mata pelajaran saja (Matematika/Ekonomi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris) yang ketiganya tersebut berbasis pada aspek kognitif (pengetahuan). Pemerintah (Mendiknas) menilai bahwa UN sangat tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur standar pendidikan, dan hasil UN sangat riil untuk dijadikan alat meningkatkan mutu pendidikan (Senin 12/2/07. www.indonesia.go.id). Di sisi lain, aspek pembentukan kepribadian (shaksiyah) yang utuh dalam diri siswa, tidak pernah menjadi indikator keberhasilan siswa dalam menempuh suatu proses pendidikan, sekalipun dalam sekolah yang berbasis agama (lihat standar kompetensi dan kelulusan siswa dalam PP No.19/2005).
Fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja (pelajar) yang di antara akibatnya menjerumuskan para pelajar pada seks bebas, terlibat narkotika, perilaku sarkasme/kekerasan (tawuran, perpeloncoan), dan berbagai tindakan kriminal lainnya (pencurian, pemerkosaan, pembunuhan) yang sering kita dapatkan beritanya dalam tayangan berita kriminal di media massa (TV dan koran khususnya), merupakan sebuah keadaan yang menunjukan tidak relevannya sistem pendidikan yang selama ini diselenggarakan dengan upaya membentuk manusia indonesia yang berkepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional sendiri (Psl.2 UU No.20/2003), karena realitas justru memperlihatkan kontradiksinya. Siswa sebagai bagian dari masyarakat mendapatkan pendidikan di sekolah dalam rangka mempersiapkan mereka agar dapat lebih baik ketika menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Namun karena kehidupan di tengah-tengah masyarakat secara umum berlangsung dengan sekuler, ditambah lagi dengan proses pendidikan dalam satuan pendidikan dalam kerangka sekulerisme juga, maka siklus ini akan semakin mengokohkan kehidupan sekulerisme yang makin meluas.
Ketiga, berlangsungnya kehidupan politik yang oportunistik telah membentuk karakter politikus machiavelis (melakukan segala cara demi mendapatkan keuntungan) di kalangan eksekutif dan legislatif termasuk dalam perumusan kebijakan pendidikan indonesia. Perumusan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang sudah berlangsung sejak 2004 dinilai oleh pengamat ekonomi Tim Indonesia Bangkit (TIB) Revrisond Bashwir sebagai agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi sektor pendidikan. Semua satuan pendidikan (sekolah) kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Selain itu dalam beberapa kebijakan operasional sisdiknas yang dikeluarkan pemerintah ternyata kadangkala didukung pula oleh dana yang jumlahnya tidak sedikit, meskipun dalam implementasinya banyak masyarakat yang menilai sering terjadi salah sasaran bahkan penyimpangan. Sebagai contoh kebijakan Mendiknas, Bambang Sudibyo yang tetap melaksanakan UN pada tahun ajaran 2005/2006 ternyata berkaitan dengan dana yang tersedia untuk program tersebut sangat besar, padahal berbagai aliansi masyarakat telah mengajukan penolakan. Diantaranya, Koalisi Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP), National Education Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), The Center for the Betterment Indonesia (CBE), Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI), Forum Aksi Guru Bandung (FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang (FKGKT), Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education Club (JTEC), dan Indonesia Corruption Watch (ICW), berdasarkan kajian terhadap UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan (www.tokohindonesia.com).
Demikianlah uraian problematika pendidikan nasional yang ditinjau dari eksistensinya sebagai suatu sub-sistem (sistem cabang) ternyata erat kaitannya dengan pengaruh dari sub-sistem yang lain (ekonomi, politik, sosial-budaya, ideologi, dsb). Sistem pendidikan nasional juga merupakan bagian dari penyelenggaraan sistem kehidupan di Indonesia saat ini.
2.2 Permasalahan Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem Kompleks
Dalam kaitan pendidikan sebagai suatu sistem, maka permasalahan pendidikan yang saat ini tengah berkembang diantaranya tergambar dengan pemetaan sebagai berikut:
Sumber : Disdik Provinsi Jawa Barat (Makalah Seminar Pendidikan Nasional-UPI Expo 2006)
Oleh karena itu, berdasarkan pemetaan di atas maka masalah pendidikan nasional dapat diuraikan sebagai berikut:
2.2.1 Pemerataan Pendidikan
1. Keterbatasan Aksesibilitas dan Daya Tampung
Gerakan wajib belajar 9 tahun merupakan gerakan pendidikan nasional yang baru dicanangkan oleh pemerintahan Suharto pada tanggal 2 Mei 1994 dengan target tuntas pada tahun 2005, namun kemudian karena terjadi krisis pada tahun 1997-1999 maka program ini diperpanjang hingga 2008/2009. Sasaran program ini berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam PP No.7/2005 adalah dengan target Angka Partisipasi Kasar (APK) 94% (APK= perbandingan antara jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia tertentu) yaitu meningkatnya siswa SLTP dari 3,67 juta orang pada tahun 2004/2005 menjadi 4,04 juta orang pada tahun 2009. Sedangkan target Direktorat SMP, Dirjen Mandikdasmen Depdiknas adalah APK 95% pada tahun 2008 yang artinya 1,9 juta anak harus terlayani ke SMP. Tahun 2005, APK SMP baru mencapai 85,22% yang menunjukan adanya selisih 9,78% dari target 95% sehingga perlu adanya pencapaian kenaikan rerata APK sebesar 3,26% pada setiap tahunnya. Tahun 2006 ditargetkan adanya kenaikan 4,64% atau 526.000 anak usia 13-15 tahun harus tertampung di jenjang SLTP/ Sederajat (Panduan KKN Wajar Dikdas 9 Tahun, UPI 2006).
Berkaitan dengan pencapaian APK dan APM, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas,2003). Namun, baru-baru ini pemerintah menyatakan optimismenya bahwa penuntasan wajib belajar akan berjalan sukses pada 2008. Keyakinan ini didasarkan atas indikator pencapaian APM SD dan APK SMP pada akhir 2006 berturut-turut mencapai 94,73 persen dan 88,68 persen dari 95 persen target yang dicanangkan pada 2008 (8/3/2007,www.tempointeraktif.com).
Kondisi ini sebenarnya belum menunjukan bahwa pemerintah telah berhasil dalam menyelesaikan problematika aksesibilitas pendidikan secara tuntas, karena indikator angka-angka di atas belum merepresentasikan aksesibilitas terhadap seluruh warga negara usia sekolah SD dan SMP.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004, menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah anak usia 7-12 tahun adalah 96,77 persen, usia 13-15 tahun mencapai 83,49 persen, dan anak umur 16-18 tahun 53,48 persen. Hasil riset UNDP 2004, yang kemudian dipublikasikan dalam Laporan Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2006, juga memperlihatkan gejala serupa. Rasio partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf. (www.republikaonline.com)
2.2.2. Kerusakan Sarana/ Prasarana Ruang Kelas
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka bagaimana mungkin proses pendidikan dapat berlangsung secara efektif?
Sebagai contoh, problematika yang terjadi di Jawa Barat. Berdasarkan usulan yang disampaikan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat Jumlah sarana/ prasarana sekolah yang mengalami kerusakan dan segera memerlukan rehabilitasi yaitu, kebutuhan rehabilitasi SD sebanyak 42.492 ruang kelas, MI sebanyak 6.523 ruang kelas, SMP sebanyak 6.767 ruang kelas, dan MTs sebanyak 2.729 ruang kelas.
Menurut Kadisdik Jabar Dr. H. Dadang Dally, M.Si (PR,15/07/2005), berdasarkan catatan beban Provinsi Jabar untuk setiap tahun kebutuhan biaya menambah dan merehabilitasi bangunan SD/MI saja butuh dana sebesar Rp 251 miliar, terdiri dari penambahan ruang kelas sebanyak 792 ruang senilai Rp 31,6 miliar, rehab total ruang kelas sebanyak 4.317 ruang senilai Rp 129,5 miliar dan rehabilitasi sedang ruang kelas sebanyak 6.045 sebesar Rp 90,6 miliar. Kemudian kebutuhan biaya untuk mencegah dan menanggulangi DO pada tingkat SD/MI sebesar Rp 149,8 miliar. Dengan demikian untuk biaya pembangunan dan rehabilitasi ditambah penanggulangan drop out SD/MI saja setiap tahunnya mencapai Rp 410 miliar. Sedangkan kemampuan anggaran pemerintah untuk pembangunan pendidikan di Jabar hanya mampu untuk mengantisipasi kedua hal tersebut. Adapun kemampuan daerah-daerah untuk pembangunan bidang pendidikan setiap tahunnya hanya antara Rp 5 miliar sampai Rp 25 miliar, anggaran tersebut hanya akan menjangkau kebutuhan minimal.
Klaim bahwa pemerintah daerah di lingkungan jawa barat memiliki kemampuan yang terbatas dalam menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diungkapkan di atas, tentu merupakan koreksi bagi pemerintah itu sendiri, yaitu mengapa selama ini alokasi untuk program yang lain alokasinya cukup besar, tetapi untuk program pendidikan jauh lebih kecil. Sebagaimana misalnya dalam APBD Kota Bandung 2007 alokasi anggaran untuk sebuah tim sepakbola Persib Bandung yang lebih bersifat hobi dan penghamburan ketimbang suatu program pembangunan besarannya ternyata mencapai Rp 15 Milyar, bahkan jumlah tersebut masih dianggap kurang.
2.2.3. Kekurangan Jumlah Tenaga Guru
Guru sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem pendidikan, merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh negara. Misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini jumlah guru dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang.
sebagai contoh dalam lingkup Jawa Barat saja menurut Drs. H. Iim Wasliman, M.Pd., M.Si. (Kadisdik Jabar tahun 2002) bahwa kondisi minimnya jumlah guru dibandingkan kebutuhan yang ada sudah sering dilontarkan. Bukan hanya di tingkat daerah, tapi juga telah menjadi persoalan nasional. Di Jawa Barat sendiri, masih dibutuhkan sekira 64 ribu guru guna mengisi kekurangan di sekolah-sekolah. Dengan perincian, 40 ribu guru untuk sekolah dasar (SD), 18 ribu untuk sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), 6 ribu untuk sekolah menengah umum (SMU), dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Kurangnya jumlah guru ini jelas merupakan persoalan serius karena guru adalah ujung tombak pendidikan. Kekurangan tersebut membuat beban guru semakin bertumpuk sehingga sangat berpotensi mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan.
Sementara itu Dany Setiawan mengungkapkan bahwa saat ini terdapat masalah kekurangan guru sebanyak 88.500 lebih terutama untuk jenjang pendidikan dasar di Jabar, sementara di sisi lain sebanyak 48.000 guru bantu tengah menanti pengangkatan, dimana persoalan pengangkatan guru menjadi pegawai negeri sipil (PNS) merupakan wewenang pusat. Untuk sementara, melalui APBD pemprov jabar telah menganggarkan tenaga guru bantu sementara yang diberikan tunjangan sebesar Rp 1 juta per orang. Namun, jumlahnya yang hanya kurang lebih 1.500 tentu saja masih belum bisa menutupi kekurangan yang mencapai 80 ribu lebih.
2.3 Pengelolaan dan Efisiensi
Masalah pengelolaan dan efisiensi pendidikan diantaranya dikelompokan berdasarkan tiga hal yaitu:
2.3.1. Kinerja dan Kesejahteraan Guru Belum Optimal
Kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja yang semakin membaik di kalangan pendidik. Berdasarkan UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 sampai dengan 16 menyebutkan tentang Hak dan Kewajiban diantaranya, bahwa hak guru dalam memperoleh penghasilan adalah di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, mendapatkan promosi dan penghargaan, berbagai fasilitas untuk meningkatkan kompetensi, berbagai tunjangan seperti tunjangan profesi, fungsional, tunjangan khusus bagi guru di daerah khusus, serta berbagai maslahat tambahan kesejahteraan.
Undang-undang tersebut memang sedikit membawa angin segar bagi kesejahteraan masyarakat pendidik, namun dalam realisasinya ternyata tidak semanis redaksinya. Sebagai contoh, Kompas (6/2/2007) memberitakan bahwa sejumlah guru di Kota Bandung menyesalkan pernyataan Menteri Pendidikan Nasional yang berencana memperberat penerimaan insentif rutin dan mengaitkan dengan syarat sertifikasi. Pandangan keberatan ini beberapa di antaranya dilontarkan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Bandung Kustiwa dan Sekretaris Jendral Forum Aksi Guru Independen (FAGI) Kota Bandung Iwan Hermawan. Keduanya sependapat, tunjangan fungsional tidak ada kaitan sama sekali dengan syarat sertifikasi guru. Hal ini karena keberadaan tunjangan fungsional dan profesi secara prinsip sebetulnya tidak saling terkait. Tunjangan fungsional lebih dianggap sebagai kebijakan yang melekat secara otomatis pada profesi guru, terlepas sejauhmana profesionalnya bersangkutan. Jadi, jelas berbeda dengan tunjangan profesi yang pada prinsipnya bertujuan memacu profesionalitas guru.
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005). Permasalahan kesejahteraan guru biasanya akan berimplikasi pada kinerja yang dilakukannya dalam melaksanakan proses pendidikan.
Guru sebagai tenaga kependidikan juga memiliki peran yang sentral dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Sebagai sebuah pekerjaan, tentu dengan menjadi seorang guru juga diharapkan dapat memperoleh kompensasi yang layak untuk kebutuhan hidup. Dalam teori motivasi, pemberian reward dan punishment yang sesuai merupakan perkara yang dapat mempengaruhi kinerja dan mutu dalam bekerja, termasuk juga perlunya jaminan kesejahteraan bagi para pendidik agar dapat meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang selama ini masih terpuruk. Dalam hal tunjangan, sudah selayaknya guru mendapatkan tunjangan yang manusiawi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya mengingat peranan dari seorang guru yang begitu besar dalam upaya mencerdaskan suatu generasi.
2.3.2 Proses Pembelajaran Yang Konvensional
Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif.
Dalam PP No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien
Sudah selayaknya profesi sebagai seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat mengembangkan model-model
2.3.4. Penyelenggaraan Otonomi Pendidikan
Pemerintah telah menetapkan kebijakan otonomi pendidikan, sebagaimana mengacu pada UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan yang menyebutkan: (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.
Berdasarkan pasal di atas maka penyelenggaraan pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab negara melainkan diserahkan kepada lembaga pendidikan itu sendiri. Dalam penjelasan pasal 3 ayat 2 RUU Badan Hukum Pendidikan disebutkan bahwa Kemandirian dalam penyelengaraan pendidikan merupakan kondisi yang ingin dicapai melalui pendirian BHP, dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi pada pendidikan tinggi. Hanya dengan kemandirian, pendidikan dapat menumbuhkembangkan kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas, dan mobilitasnya.
2.4 Relevansi pendidikan
2.4.1. Belum Menghasilkan Life Skill Yang Sesuai
Dalam kaitannya dengan life skill yang dihasilkan oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan, maka berdasarkan PP No.19/2005 sebagaimana dalam pasal 13 bahwa:1) kurikulum untuk SMP/MTs/ SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukan pendidikan kecakapan hidup. 2) pendidikan kecakapan hidup yang dimaksud meliputi kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional.
Adapun kriteria penilaian hasil belajar dapat dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan, maupun pemerintah. Penilaian hasil belajar oleh pendidik diatur dalam pasal 64 antara lain penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama, akhlak mulia, pendidikan kewarganegaraan dan akhlak mulia dilakukan melalui: a. pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik, serta. b. Ulangan, ujian, dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dalam menciptakan life skill yang diharapkan dimiliki oleh siswa ukuran yang digunakan adalah penilaian-penilaian di atas. Namun kenyataan sebaliknya justru menunjukan bahwa korelasi antara proses pendidikan selama ini dengan pembentukan kepribadian siswa merupakan hal yang dipertanyakan? Kasus tawuran antar pelajar, seks bebas, narkoba, dan berbagai masalah sosial lainnya merupakan indikator yang relevan untuk mempertanyakan hal ini.
2.4.2. Pendidikan Yang Belum Berbasis Pada Masyarakat dan Potensi Daerah
Struktur kurikulum yang ditetapkan berdasarkan UU No.20/2003 dalam Pasal 36 tentang Kurikulum menyebutkan: (1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. peningkatan iman dan takwa; b. peningkatan akhlak mulia; c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan dunia kerja; g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama; i. dinamika perkembangan global; dan j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dalam PP No.19/2005 antara lain dalam pasal 6 yang menyebutkan:1) kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan akhlak mulia, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan kesehatan. 6). Kurikulum dan silabus SD/MI/SDLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis. Kecakapan berhitung, serta kemampuan berkomunikasi.
Masyarakat dan lingkungan tempat tinggal merupakan bagian yang terintegrasi dengan siswa sebagai peserta didik. Proses pendidikan yang sebenarnya tentu melibatkan peranan keluarga, lingkungan-masyarakat dan sekolah, sehingga jika salah satunya tidak berjalan dengan baik maka dapat mempengaruhi keberlangsungan pendidikan itu sendiri.

2.4.3 Belum Optimalnya Kemitraan Dengan Dunia Usaha/ Dunia Industri

Berkaitan dengan peranan masyarakat dalam pendidikan dalam UU No.20/2005 Sisdiknas pasal 54 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan menyebutkan : (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. (3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Hal yang justru memunculkan kerawanan saat ini adalah dengan adanya RUU BHP maka peranan pihak swasta (pengusaha) mendapatkan akses yang lebih luas untuk mengelola pendidikan, sehingga bagaimana jadinya kalau kemitraan dengan DU/DI tersebut ternyata menempatkan pengusaha ataupun perusahaan sebagai pihak yang berinvestasi dalam lembaga pendidikan dengan menuntut adanya return yang sepadan dari investasinya tersebut? Kondisi ini pada akhirnya akan memperkokoh keberlangsungan kapitalisasi pendidikan.
3.1. Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Penyelesaian itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Hal ini sangat penting dan utama. Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan diselesaikan, baik itu masalah aksesibilitas pendidikan, relevansi pendidikan, pengelolaan dan efisiensi, hingga kualitas pendidikan
Solusi masalah mendasar itu adalah dengan melakukan pendekatan sistemik yaitu secara bersamaan melakukan perubahan paradigma dalam penyelenggaraan sistem ekonomi yang kapitalistik menjadi islami, tatanan sosial yang permisif dan hedonis menjadi islami, tatanan politik yang oportunistik menjadi islami, dan ideologi kapitalisme-sekuler menjadi mabda islam, sehingga perubahan sistem pendidikan yang materialistik juga dapat diubah menjadi pendidikan yang dilandasi oleh aqidah dan syariah islam sesuai dengan karakteristiknya. Perbaikan ini pun perlu dilanjutkan dalam perbaikan aspek formalitas, yaitu dengan dibuatnya regulasi tentang pendidikan yang berbasiskan pada konsep syari’ah islam.
Salah satu bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dengan cara menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan (Syari’ah) Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.

PEDIDIKAN

PENDIDIKAN
Fitrah kehidupan manusia adalah menjalani kehidupan ini sesuai dengan aturan-aturan kehidupan yang telah ditetapkan oleh penciptanya, yaitu Allah Swt karena Dia yang paling mengetahui segalanya tentang makhluk ciptaan-Nya.
Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku
Kemudian juga firman-Nya:
Sesungguhnya Tuhanmu Maha luas ampunan-Nya. dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin di dalam perut ibumu; Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (QS. An-Najm[53]:32)
Fitrah ini pula yang akan mengangkat harkat dan martabat manusia pada posisi yang seharusnya yaitu sebagai makhluk paling mulia yang diciptakan Allah Swt yang diantaranya dapat tetap terpelihara dengan didukung oleh keberhasilan suatu proses pendidikan.

Sebagaimana Firman-Nya:

(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran.
(QS. Az-Zumar [39]:
…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Mujadalah [58]:11)
dapun terkait dengan tuntutan untuk membangun sebuah peradaban dunia dengan islam adalah adanya perintah dari As-Syari’ (Allah Swt) yang tegas dinyatakan dalam Al-qur’an maupun As-Sunnah, baik yang menyangkut tuntutan untuk menghukumi seluruh problematika kehidupan dengan islam, kewajiban menegakan khilafah islam yang akan mengemban dakwah dan jihad ke berbagai penjuru dunia, maupun kewajiban untuk menjaga keberlangsungan kehidupan islam tersebut yang diantaranya pula membutuhkan keberadaan sistem pendidikan.
Sehingga, penguasaan terhadap ilmu, pengetahuan-teknologi, aspek-aspek materi (hasil-hasil teknologi) dan kemajuan-kemajuan lainnya merupakan sesuatu yang harus disadari oleh kaum muslimin sebagai kebutuhan dan kewajiban yang harus selalu dilaksanakan dalam menjaga keberlangsungan kehidupan (peradaban) islam di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah.
Firman-Nya dalam Al-qur’an:

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzab [33]:36)
Sebagai contoh, problematika yang terjadi di Jawa Barat. Berdasarkan usulan yang disampaikan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat Jumlah sarana/ prasarana sekolah yang mengalami kerusakan dan segera memerlukan rehabilitasi yaitu, kebutuhan rehabilitasi SD sebanyak 42.492 ruang kelas, MI sebanyak 6.523 ruang kelas, SMP sebanyak 6.767 ruang kelas, dan MTs sebanyak 2.729 ruang kelas. Sedangkan untuk pembangunan ruang kelas baru, SMP dibutuhkan sebanyak 5.628 ruang kelas baru dan MTs sebanyak 1.706 ruang kelas baru. Berdasarkan rehabilitasi dan pembangunan ruang kelas baru tersebut, maka dibutuhkan dana keseluruhan sebesar Rp 2.838.770.000.000. Anggaran kebutuhan sebesar Rp 2,8 triliun tersebut, tidak mungkin ditangani seluruhnya oleh APBD. Untuk itu, berdasarkan kesepakatan bersama antara Menteri Pendidikan Nasional, Gubernur Jawa Barat, dan para Bupati/Walikota se-Jawa Barat, pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan sharing antara Pemerintah Pusat sebesar 50% atau sekitar Rp 1,4 triliun, Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebesar 30% atau sekitar Rp 840 miliar, sisanya 20% atau sekitar Rp 560 miliar dari 25 Kota/Kabupaten di Jawa Barat. (Sumber: Bulletin Epitech 2006, Disdik Prov.Jabar).
Menurut Kadisdik Jabar Dr. H. Dadang Dally, M.Si (PR,15/07/2005), berdasarkan catatan beban Provinsi Jabar untuk setiap tahun kebutuhan biaya menambah dan merehabilitasi bangunan SD/MI saja butuh dana sebesar Rp 251 miliar, terdiri dari penambahan ruang kelas sebanyak 792 ruang senilai Rp 31,6 miliar, rehab total ruang kelas sebanyak 4.317 ruang senilai Rp 129,5 miliar dan rehabilitasi sedang ruang kelas sebanyak 6.045 sebesar Rp 90,6 miliar. Kemudian kebutuhan biaya untuk mencegah dan menanggulangi DO pada tingkat SD/MI sebesar Rp 149,8 miliar. Dengan demikian untuk biaya pembangunan dan rehabilitasi ditambah penanggulangan drop out SD/MI saja setiap tahunnya mencapai Rp 410 miliar. Sedangkan kemampuan anggaran pemerintah untuk pembangunan pendidikan di Jabar hanya mampu untuk mengantisipasi kedua hal tersebut. Adapun kemampuan daerah-daerah untuk pembangunan bidang pendidikan setiap tahunnya hanya antara Rp 5 miliar sampai Rp 25 miliar, anggaran tersebut hanya akan menjangkau kebutuhan minimal. pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.

3. Jumlah dan Kualitas Buku Yang Belum Memadai
Ketersediaan buku yang berkualitas merupakan salah satu prasarana pendidikan yang sangat penting dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana dalam PP No 19/2005 tentang SNP dalam pasal 42 tentang Standar Sarana dan Prasarana disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (ayat 1).
Secara teknis, pengadaan buku pelajaran di sekolah tidak lagi boleh dilakukan oleh sekolah dengan menjual buku-buku kepada siswa secara bebas, melainkan harus sesuai dengan buku sumber yag direkomendasikan oleh pemerintah. Dalam tahun 2007 ini, pemerintah melalui Ketua Satker Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) Dana BOS buku 2007 akan dicairkan karena dana BOS buku tahun 2006 sudah terserap semuanya. Meski dalam pelaporan serapan dana BOS buku 2006 belum masuk semua ke Satker PKPS BBM tingkat kabupaten/kota. Unit cost untuk setiap siswa dari BOS buku ini Rp 22.000 yang diperuntukkan untuk membeli satu buah jenis buku. Jadi kalau dijumlahkan dana BOS buku, baik untuk siswa tingkat SD maupun SMP sekitar Rp 131,088 miliar lebih. Selain itu, buku yang dibeli juga xharus sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 11 Tahun 2005. Jumlah penerbit yang telah mendapatkan sertifikat dan sesuai menurut Permendiknas No. 11 Tahun 2005 sebanyak 98 penerbit dan ratusan judul buku. Ke-98 penerbit tersebut jika dirinci, untuk penerbit buku matematika sebanyak 31 penerbit, bahasa Indonesia sebanyak 45 penerbit, dan bahasa Inggris sebanyak 22 penerbit (www. Klik-galamedia.com, 08 Februari 2007).

2.3.5 Keterbatasan Anggaran
Ketersediaan anggaran yang memadai dalam penyelenggaran pendidikan sangat mempengaruhi keberlangsungan penyelenggaraan tersebut. Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 49 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (ayat 1).
Permasalahan lainnya yang juga penting untuk diperhatikan adalah alasan pemerintah untuk berupaya merealisasikan anggaran pendidikan 20% secara bertahap karena pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengalokasikan 20% secara sekaligus dari APBN/APBD. Padahal kekayaan sumber daya alam baik yang berupa hayati, sumber energi, maupun barang tambang jumlahnya melimpah sangat besar. Tetapi karena selama ini penanganannya secara kapitalistik maka return dari kekayaan tersebut malah dirampas Oleh para ahli pemilik modal.
2.3.5. Mutu SDM Pengelola Pendidikan
Sumber daya pengelola pendidikan bukan hanya seorang guru atau kepala sekolah, melainkan semua sumber daya yang secara langsung terlibat dalam pengelolaan suatu satuan pendidikan. Rendahnya mutu dari SDM pengelola pendidikan secara praktis tentu dapat menghambat keberlangsungan proses pendidikan yang berkualitas, sehingga adaptasi dam sinkronisasi terhadap berbagai program peningkatan kualitas pendidikan juga akan berjalan lamban.
Dengan memahami kerangka dasar penyelenggaraan pendidikan nasional yang berlandaskan sekulerisme, maka standar pengelolaan pendidikan secara nasionalpun akan sejalan dengan sekulerisme tersebut, semisal adanya mekanisme MBS dan Otonomi PT sebagaimana disebutkan di atas yang merupakan implementasi dari otonomi pendidikan.

Perkawinan Beda Agama Menghasilkan Anak Zina


Perkawinan Beda Agama Menghasilkan Anak Zina
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis, suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan-perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Perhatian pemerintah juga tidak luput dari permasalahan dalam hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan antar agama.
Pernikahan merupakan bagian dari fitroh manusia, seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang berbeda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang berbeda agama dengannya atau sebaliknya, kemudian berujung pada pernikahan yang hampir pasti tidak terelakkan. Karena persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk.
Hal ini tentu saja dianggap oleh masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam sebagai penyalahan atau pergeseran nilai-nilai Islam yang ada. Tak jarang hal ini sering menimbulkan gejolak dan reaksi keras di kalangan masyarakat kita. Masalah ini menimbulkan perbedaan pendapat dari dua pihak pro dan kontra, masing-masing pihak memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-dalil Islam tentang pernikahan beda agama.
Perkawinan di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan UU tersebut perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya dalam UU yang sama diatur bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

Perkawinan itu juga harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954. Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya selain agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil.
Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum. Mengenai sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing.
Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (al Baqarah [2]: 221). Selain itu, juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (II Korintus 6: 14-18). 
Menurut hukum Islam
Masalah pernikahan berbeda dalam islam terbagi dalam 2 kasus keadaan. Pertama, pernikahan antara laki-laki non-muslim dengan wanita muslim. Para ulama sepakat, seorang wanita muslim haram hukumnya menikah dengan laki-laki non-muslim dan pernikahannya tidak sah. al-Quran menjelaskan Dalam surat al-Baqarah 221.
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Surat al-Baqarah Ayat 221)
Kedua, seorang laki-laki muslim dilarang menikah dengan wanita non-muslim kecuali wanita ahli kitab, seperti yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 5
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.(al-Maaidah Ayat 5)
Pada surat al-Baqarah ayat 221 terang dijelaskan baik laki-laki ataupun perempuan memiliki larangan untuk menikahi atau dinikahkan oleh seorang musyrik. Dan dalam surat Al-Maidah di jelaskan kembali bagi  seorang laki-laki, boleh menikahi ahli kitab. Namun terdapat beberapa pendapat bahwa ahli kitab di sini bukanlah  penganut injil, ataupun taurat yang ada pada saat ini. Ahli kitab yang dimaksudkan disini ialah mereka yang bersyahadat Mengakui adanya ALLAH  akan tetapi tidak mengakui adanya Muhamad.
Meskipun sudah dilarang, perkawinan beda agama masih terus dilakukan. Berbagai cara ditempuh, demi mendapatkan pengakuan dari Negara. Baik dengan cara salah satu dari calon pengantin baik laki-laki ataupun perempuannya mengalah mengikuti agama pasangannya, lalu setelah menikah dia kembali kepada agamanya. Hingga menikah diluar negri.
Perkawinan beda agama yang ada pada saat ini, agar dikembalikan kepada agama masing-masing. Dalam jalinan pernikahan antara suami dan istri, harus didasari atas persamaan agama dan keyakinan hidup. Namun pada kasus pernikahan beda agama, karna pernikahan beda agama adalah pernikahan yang fasad (rusak atau tidak sah) dan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah, sehingga anak yang hadir diantara mereka bisa dikatakan akan zina.
Fatwa MUI melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, bukan hanya agama Islam. Semua agama tidak memperbolehkan perkawinan beda agama. Umatnya saja yang mencari-cari peluang. Perkawinannya dianggap tidak sah, dianggap tidak ada perkwianan, tidak ada waris, anaknya juga ikut hubungan hukum dengan ibunya. Meskipun UU tidak memperbolehkan kawin beda agama, tetapi Kantor Catatan Sipil bisa menerima pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Pemerintah tdak tegas, seharusnya yang dicatat KCS adalah sesuai dengan hukum Indonesia. 
Harapan akan lahirnya keluarga sakinah akan sulit dicapai pasangan suami-istri yang berbeda agama, bagaimana mendidik anak-anak mereka. Seorang anak akan kebingungan untuk mengikuti ayahnya atau ibunya. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Status Anak Luar Nikah

Mengenai status anak luar nikah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris.

Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah atau nikah fasad, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li‟an. Oleh karena itu tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memebrikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan. Dan bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah.

Hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum. Meskipun demikian apabila anak diluar nikah itu seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.

Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua: pertama, anak sah. kedua, anak luar nikah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No. Tahun 1974 pasal 42 adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang dsebutkan dalam peraturan perundang-undangan Nasional UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

 Bila dicermati dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang Hukum Perkawinan, menyatakan bahwa status nasab anak di luar nikah hanya mempunyai hubungan keperdataan kepada ibunya dan keluarga ibunya. Implementasinya adalah bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban dengan ibu dan kelaurga ibunya. Mafhum mukhalafahnya adalah anak itu tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya dalam nasab, hak dan kewajiban baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya. Hampir tidak ada perbedaan antara hukuk Islam dengan hukum perkawinan Nasional dalam menetapkan nasab anak di luar nikah, walaupun tidak menyatakan secara tegas.

Baru-baru ini UU No 1 th 1974 pasal 43 ayat (1) dijudicial review oleh Macicha Mokhtar, sehingga keluarlah putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Pebruari 2012 menjadi: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan pedata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan ayahnya.

Yang dimaksud anak di luar nikah disini adalah anak yang lahir melalui pernikahan tetapi belum diakui negara karena tidak dicatatkan, seperti nikah siri. Memang secara hukum, tidak ada istilah anak hasil hubungan zina, yang ada hanya anak di luar nikah. Tetapi anak hasil zina disini adalah anak tanpa nikah sehingga tidak tergolong anak luar nikah seperti yang dimaksudkan putusan MK tersebut.

Argumentasi yang melandasi keputusan ini antara lain bahwa setiap anak adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas apakah dia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu dan bahwasanya dia berhak memperoleh layanan dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak tanpa diskriminasi. Hal ini sesuai dengan UU N0 12 tahun 2006 tentang Kewargannegaraan yang menyangkut hak asasi manusia (HAM).

Rounded Rectangle: Nama  : Ahmad Basuki
Telp.  : 085878644197
No. Rek. :00202-01-61-000316-3 


Sunday, April 15, 2012

Pendidikan Pengajaran

I. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan bagian penting dari hidup dan kehidupan manusia, pendidikan sangatlah berperan vital dalam membentuk karakter manusia, ini berarti pendidikan adalah sebagai pelestari tata sosial dan tata nilai yang ada dan berkembang di masyarakat sekaligus sebagai agen pembaharuan. Di sini terlihat dimensi dan dinamisme pendidikan. Karena hanya dengan pendidikanlah manusia itu dapat menemukan jati diri kemanusiaannya. Lahirnya pendidikan itu sebenarnya setua usia manusia itu sendiri.
Pendidikan adalah cara membentuk karakter manusia yang baik dan beradab, pendidikan dan ilmu adalah satu unsur yang saling berkitan,pendidikan sering di artikan secara luas di kalanagan masyarakat dan telah terdapat definisi-definisi yang berbeda beda mengenai apa itu pendidkan, dan apakah pendidikan bisa disamakan dengan pengajaran, di sini pemakalah akan berusaha untuk menjelaskan dan memaparkan apa itu pendidikan dan apa saja unsur yang terdapat di dalamnya.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian pendidikan ?
B. Apa pengertian pengajaran ?

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian pendidikan
Kata pendidikan yang dalam bahasa arabnya ialah tarbiyah dengan kata kerja robba yang berarti mendidik. Secara umum Pendidikan adalah upaya nyata untuk memfasilitasi individu lain, dalam mencapai kemandirian serta kematangan mentalnya sehingga dapat survive di dalam kompetisi kehidupannya. pendidikan di lihat dari sudut pandang agama Islam yaitu Ilmu pendidikan Islam adalah upaya memperjuangkan sebuah sisitem pendidikan alternatif yang lebih baik dan relatif dapat memenuhi kebutuhan umat islam dalam menyelesaikan semua problematika kehidupan yang di hadapi umat Islam sehari hari.
Di dalam pendidikan ada beberapa teori yang telah di kemukakan oleh para pakar pendidikan. Diantara Teori pendidikan, dikenal ada 3 (tiga) macam aliran:
a. Aliran nativisme yang di pelopori oleh Scohopenhauer. Ia mengatakan bahwa bakat mempunyai peranan yang sangat penting.
b. Aliran empirisme yang dipelopori oleh Jhon Lock. Ia mengatakan bahwa pendidikan itu perlu sekali teorinya terkenal dengan istilah “Teori Tabularasa” ini artinya kelahiran anak diumpamakan sebagai kertas putih bersih yang dapat diwarnai setiap orang (penulis). Dalam konteks pendidikan, pendidikan adalah orang yang mampu memberi warna terhadap anak didik.
c. Aliran convergensi yang dipelopori oleh William Stern. Aliran ini mengakui kedua aliran sebelumnya. Oleh karena itu, menurut aliran ini, pendidikan sangat perlu, namun bakat (pembawaan) yang ada pada anak didik juga mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Aliran ini seolah-olah merupakan campuran dari aliran nativisme dan empirisme. Kendati pada kenyataannya aliran ini lebih menekankan tentang pentingnya pendidikan.

1. Tujuan Dan Fungsi Pendidikan
Tujuan pendidikan ialah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya di mana individu itu hidup. Menurut Sikun pribadi, tujuan pendidikan merupakan masalah inti dalam pendidikan, dan saripati dari seluruh renungan pedagogik. Dengan demikian tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan jalannya pendidikan sehingga perlu dirumuskan sebaik-baiknya sebelum semua kegiatan pendidikan dilaksanakan.
Suatu rumusan tujuan pendidikan akan tepat apabila sesuai dengan fungsinya. Oleh karena itu perlu ditegaskan lebih dahulu apa fungsi pendidikan itu. Di antara para ahli didik ada yang berpendapat, bahwa fungsi tujuan pendidikan ada 3 (tiga) yang semuanya bersifat normatif.
a. Memberikan arah bagi proses pendidikan. Sebelum kita menyusun kurikulum, perencanaan pendidikan dan berbagai aktivitas pendidikan, langkah yang harus dilakukan pertama kali ialah merumuskan tujuan pendidikan. Tapa kejelasan tujuan, seluruh activitas pendidikan akan kehilangan arah, kacau dan bahkan dapat menemui kegagalan.
b. Memberikan motivasi dalam aktivitas pendidikan karena pada dasarnya tujuan pendidikan merupakan nilai-nilai yang ingin dicapai dan diinternalisasikan kepada anak atau subjek didik.
c. Tujuan pendidikan merupakan kriteria atau ukuran dalam evaluasi pendidikan.
Bila dilihat secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua bentuk yaitu:
a. Alat untuk memelihara,memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan nasional.
b. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan. Pada garis besarnya, upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan skill yang dimiliki, serta melatih tenaga-tenaga manusian (peserta didik) yang produktif dalam menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi yang demikian dinamis.

B. Pengertian Pengajaran
Pengajaran menurut sikun pribadi guru besar IKIP Bandung adalah suatu kegiatan yang menyangkut pembinaan anak mengenai segi koknitif dan psikomotorik semata-mata. Hal ini dimaksudkan agar anak lebih banyak pengetahuannya lebih cakap berfikir kritis sistematis dan objektif serta terampil mengerjakan sesuatu. Jadi Pengajaran adalah aktivitas nyata mengajarkan pengetahuan (transfer knowledge) sehingga seseorang mampu survive dalam kehidupannya.
Di dalam pengajaran juga terdapat perencanaan-perencanaan (planning), perencanaan pengajaran dipergunakan secara luas baik di kalanagn pendidik maupun di luar lingkungan pendidik, kaufman mengatakan : perencanaan adalah suatu proyeksi tentang apa yang diperlukan dalam rangka mencapai tujuan absah dan bernilai, di dalamnya mencakup elemen-elemen sebagai berikut:
a. Mengidentifikasikan dan mendokumentasikan kebutuhan.
b. Menentukan kebutuhan-kebutuhan yang perlu diprioritaskan.
c. Spesifikasi rinci hasil yang dicapai dari tiap kebutuhan yang diprioritaskan.
d. Identifikasi persyaratan untuk mencapai tiap-tiap pilihan.
e. Sekuensi hasil yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan.
f. Identifikasi strategi alternatif yang mungkin, dan alat atau tools untuk melengkapi tiap persyaratan dalam mencapai tiap kebutuhan, termasuk di dalamnya merinci keuntungan dan kerugian setiap strategi dan alat yang dipakai.
C. Pengertian Dresur

D. Perbedaan Pendidikan, Pengajaran, dan Dresur
1. Pendidikan
Sebagaiman telah disebutkan di atas bahwa pendidikan adalah

2. Pengajaran
Sering ditemukan semacam kebingungan atan kerancauan dalam penggunaan istilah pendidikan dan pengajaran. Ada orang berpendapat bahwa pendidikan tidak sama dengan pengajaran. Ada yang berpendapat pendidikan lebih luas daripada pengajaran. Ada juga yang mengatakan pendidikan adalah usaha pengembangan aspek ruhani manusia, sedangkan pengajaran aspek jasmani dan akal saja.
Sikun Pribadi, gurubwesar IKIP Bandung, berpendapat bahwa mendidik dalam arti pedagogis tidak disamakan dengan pengertian mengajar. Pengajaran menurut pendapatnya ialah suatu kegiatan yang menyangkut pembinaan anak mengenai segi kognitif dan psikomotor semata-mata, yaitu supaya anak lebih banyak pengetahuannya, lebih cakap berfikir kritis, sistematis, dan objektif,serta terampil dalam mengerjakan sesuatu, misalnya terampil menulis, membaca, lari cepat, loncat tinggi, berenang, membuat pesawat radio, dan sebagainya.