Thursday, December 22, 2011

usul fiqih

KAIDAH USHUL FIQIH AL-AHKAM ASY-SYAR’IYAH
 Memahami hukum-hukum syar’i
 Menjelaskan tentang hukum taklifi dan penerapannya dalam Islam
A. TANBIH
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٨﴾
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui. (Q.S al Baqarah/2:188)
B. IFTITAH
Manusia membutuhkan pedoman atau panduan untuk mengatur tata laku kehidupannya. Pedoman itu menentukan perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Sebagai umat Islam, pedoman itu kita dapat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita wajib mentaatinya. Al-Qur’an adalah sumber pokok hukum Islam yang pertama dan As-Sunnah berfungsi untuk memperkuat, memperjelas dan menetapkan yang belum disebut dalam Al-Qur’an. Rasulullah SAW menjadi uswatun hasanah bagi kita.
Al-Qur’an mengandung hukum-hukum yang kebanyakan bersifat universal. Hukum suatu masalah kadang berada di beberapa surat dan ayat yang berbeda. Misalnya, hukum pernikahan terdapat pada surat Al-Baqarah, surat Ath-Thalaq dan lain-lain sehingga kadang hukum-hukum dalam Al-Qur’an tidak mudah dipahami.
Ketika nabi Muhammad SAW masih ada, setiap muncul masalah baru atau para sahabat kesulitan mamahami kandungan Al-Qur’an, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Begitu juga pada masa sahabat dan tabiin, hal itu masih mudah dilakukan.
Ketika Islam sudah tersiar keluar negara Arab, tidak semua orang dengan mudah memahami Bahasa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di sinilah Islam memberi ruang bagi akal manusia untuk menafsirkannya. Beruntunglah kita pada awal abad pertama banyak fatwa Imam Abu Hanifah (80-150 H) tentang kaidah-kaidah memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah
Salah seorang muridnya yang bernama Abu Yusuf pernah mencatatkan fatwa-fatwa itu yang kemudian dikenal sebagai aggaran Ushul Fiqih. Pada abad kedua, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I (150-204H) termasyhur sebagai yang pertama menyusun Ushul Fiqih secara sempurna. Catatan-catatan itu sampai sekarang tetap terpelihara dalam kitab Ar-Risalah. Sehingga meskipun muncul masalah baru yang belum ditentukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, kita akan lebih mudah menentukannya untuk kemaslahatan kehidupan manusia. Pada bab ini kita akan membahas tentang hukum syar’i yang berisi tentang hukum taklif, wadh’i, mahkum bihi dan mahkum ‘alaih. Silahkan disimak dengan seksama.

1. Pengertian Hukum Syar’i

Pengertian secara bahasa adalah : اِثْباَتُ شَيءٍ الِىَ شَيءٍ
Menetapkan sesuatu atas sesuatu, atau memindahkan sesuatu daripadanya.
Syar’i atau syari’at dari segi bahasa berarti jalan, sedangkan menurut istilah Ahli Ushul Fiqih, hukum ialah : خِطَابُ اللهِ اْلمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلِّفِيْنَ طَلَبًا اَوْ تَخْيِيْرًا اَوْ وَضْعًا
Khitab (titah) Allah atau sabda Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal), baik tuntutan/suruhan, larangan atau takhyir (pilihan mengerjakan atau meninggalkan), atau wadh’i (menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi suatu hukum).
2. Macam-Macam Hukum Syariat
Berdasar definisi ini,Ulama Ushul Fiqih membagi hukum syariat menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi (thalaban wa takhyiran) dan wadh’i.
a. Hukum Taklifi
1) Pengertian hukum taklifi adalah:
مَا اقْتَضَاه خِطَابُ الشَرْعِ المُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ المُكَلِّفِيْنَ مِنْ طَلَبٍ اَوْ تَخيِيْرٍ ( بَيْنَ الفِعْلِ وَالتَّرْكِ عَنْهُ(
Hukum yang menetapkan tuntutan melakukan sesuatu, atau tuntutan meninggalkan sesuatu, atau pilihan melakukan atau meninggalkan sesuatu, kepada seorang mukallaf.
Maka hukum taklifi ada tiga yakni: a) tuntutan melakukan, b) tuntutan meninggalkan, c) pilihan: melakukan atau meninggalkan
2) Contoh hukum taklifi:
a) Tuntutan mengerjakan suatu perbuatan: berpuasa pada bulan Ramadhan. QS Al-Baqarah : 183. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS Al-Baqarah/2: 183).

b) Tuntutan meninggalkan suatu perbuatan: Berkata tidak sopan kepada orang tua.
…فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا ….
…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka… (QS Al-Isra’/17 : 23)
c) Tuntutan memilih: mengerjakan atau meninggalkan perbuatan : Mengqashar shalat ketika bepergian jauh. QS. An-Nisa: 101.
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا…
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. (QS An-Nisa’/4: 101).
b. Bila dikaitkan dengan tegas atau tidaknya titah Allah, Ulama Ushul Fiqih membedakan tiga macam hukum taklifi diatas menjadi lima (5) macam hukum:
1) Iijab: الإِيْجَابُ: وَ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالى يَقْتَضِى الفِعْلَ اِقْتِضَاءً جَازِمًا
Al Ijab ialah khitab/firman Allah SWT yang meminta melakukan sesuatu sebagai suatu keharusan.
Konsekuensi hukum wajib adalah pahala bagi yang mengerjakannya dan dosa bagi yang meninggalkannya. Contoh hukum wajib adalah shalat, puasa Ramadhan, membayar zakat, menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, berbakti kepada kedua orangtua, dan lain sebagainya. Semua perintah tersebut hukumnya pasti dan tegas. Seperti firman Allah SWT.: وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً … ﴿٣٦﴾
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. (QS. An-Nisa’/4:36)
Hukum wajib dibagi menjadi beberapa macam:
a) Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, wajib ada 2 macam, yaitu:
(1) Wajib muwaqqat, yaitu kewajiban yang ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya, seperti: shalat fardhu yang lima waktu, kapan mulai dan berakhirnya waktu sudah ditentukan.
(2) Wajib muwassa’, yaitu waktu untuk melaksanakan kewajiban memmpunyai waktu yang luas. Seperti: waktu untuk melaksanakan shalat dzuhur kurang lebih 3 jam, tetapi waktu yang diperlukan untuk melakukan sholat tersebut cukup 5-10 menit saja.
(3) Wajib mudhoyaq, yaitu waktu yang disediakan untuk melaksanakan untuk melaksanakan kewajiban sangat terbatas. Seperti: puasa Ramadhan lamanya 1 bulan.
(4) Wajib mutlak, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya. Seperti: kewajiban membayar kifarat bagi orang yang melanggar sumpah.
b) Dilihat dari segi orang yang dituntut mengerjakan, wajib dibagi sebagai berikut:
(1) Wajib ‘Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan tiap-tiap mukallaf. Seperti: shalat, puasa, zakat, dan lain-lain.
(2) Wajib kifayah, artinya kewajiban yang boleh dilakukan oleh sebagian mukallaf (boleh diwakili oleh kelompok tertentu). Contoh: mengurus jenazah, menjawab salam, dan lain-lain.
(c) Dilihat dari segi kadar (ukuran kuantitasnya) wajib dibagi menjadi berikut ini:
(1) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan kadarnya. Contoh : jumlah rakaat dalam shalat, jumlah besarnya zakat.
(2) Wajib ghoiru muhaddad, yaitu kewajiban yang belum ditentukan kadarnya. Contoh: infaq, tolong menolong, dan shodaqoh.
(d) Dilihat dari segi tertentu atau tidaknya yang diwajibkan, wajib dibagi menjadi berikut ini:
(1) Wajib mu’ayyan, yaitu kewajiban yang telah ditentukan jenis perbuatannya. Contoh: shalat, puasa, zakat fitrah.
(2) Wajib mukhoyyar, yaitu wajib tetapi boleh memilih di antara beberapa pilihan. Contoh: Kifarat bagi orang yang berkumpul suami istri di siang hari Ramadhan boleh memilih memerdekakan budak, bila tidak mampu maka berpuasa 2 bulan berturut-turut, bila tidak mampu berpuasa maka memberi makan 60 fakir miskin.
2) Nadb: النَّدْبُ : وَ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالى يَقْتَضِى الفِعْلَ اِقْتِضَاءً غَيْرُ جَازِمٍ
An nadbu ialah khitab/firman Allah SWT yang meminta melakukan sesuatu perbuatan tetapi bukan suatu keharusan.
Konsekuensi Sunah mendatangkan pahala bagi pelakunya, tetapi tidak mendatangkan dosa dan siksa bagi yang meninggalkannya. Dengan istilah lain sunah terpuji jika dikerjakan dan tidak tercela jika ditinggalkan. Istilah Sunah/sunat dalam istilah Ulama’ ushul fiqih disebut juga mandub, nafilah, tathawwu’, mustahab, dan ihsan. Umpamanya, firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ…
Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang telah ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya. (QS Al-Baqarah/2: 282).
Hukum sunah/sunat dibagi menjadi 2 macam:
(1) Sunah muakkad, artinya perintah melakukan perbuatan yang sangat dianjurkan (sangat penting)
(2) Sunah ghoiru muakkad, artinya sunah yang tidak begitu penting (kurang dianjurkan).

3) Tahrim: التَّحْريْمُ: وَ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالى يَقْتَضِى التَّرْكَ اِقْتِضَاءً جَازِمًا
Al Tahrim ialah khitab/firman Allah SWT yang meminta meninggalkan sesuatu perbuatan sebagai suatu keharusan.
Konsekuensi dari hukum haram adalah seseorang yang mengerjakan akan mendapat dosa dan kehinaan, sementara bagi yang meninggalkan akan mendapat pahala dan kemuliaan. Umpamanya, firman Allah SWT:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً ﴿٢٣﴾
Janganlah kamu mencibirkan ibu bapakmu (mengatakan cis kepada ibu bapakmu)” QS Al-Isra’/17 :23.
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
katakanlah saku tidak mendapati pada apa yang diwahyukan kepada sesuatu yang haram bagi orang yang memakannya kecuali bila hal itu bangkai, darah mengalir, daging babi, karena hal itu adalah keji/kotor dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (Q.S Al-An’am /6: 145.

4) Karahah: الكَرَهة: وَ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالى يَقْتَضِى التَّرْكَ اِقْتِضَاءً غَيْرُ جَازِمٍ
Al Karahah ialah khitab/firman Allah SWT yang meminta meninggalkan sesuatu perbuatan yang bukan sebagai keharusan. Misalnya saja pada ayat berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ…
Apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. (QS Al-Jumu’ah/62: 9)
5) Ibahah: الابَاحَةُ: وَ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالى يُخَيِّرُ بَيْنَ الفِعْلِ وَ التَّرْكِ
Al Ibahah ialah khitab/firman Allah yang membolehkan memilih di antara melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Mubah tidak berpahala jika dikerjakan dan tidak pula berdosa jika ditinggalkan. Umpamanya firman Allah: وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. (QS Al-Baqarah/2: 235)
b. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i yaitu hukum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang untuk berlakunya suatu hukum. Melihat kepada pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahawa hukum wadh’i itu terdiri dari tiga macam, yaitu:
1) Sebab yaitu sesuatu yang jelas adanya mengakibatkan adanya hukum, sebaliknya tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum. Contohnya, perbuatan zina mengakibatkan adanya hukum dera. ….الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (QS an-Nur/24: 2)
Contoh lain, membunuh orang yang tidak berdosa dengan sengaja menjadi sebab berlakunya hukum qishah; adanya perkawinan menjadi sebab berlakunya hukum waris bagi suami atau istri bila salah satunya meninggal dunia; tergelincirnya matahari menjadi sebab adanya kewajiban shalat dzuhur; melihat bulan tanggal 1 Ramadhan menjadi sebab diwajibkannya puasa Ramadhan, dll.
2) Syarat yaitu sesuatu yang harus ada sebelum ada hukum, karena adanya hukum bergantung kepadanya. Tidak adanya “syarat” mengakibatkan tidak ada hukum. Akan tetapi, dengan adanya “syarat” tidak mesti ada hukum. Contohnya, berwudhu merupakan syarat sahnya shalat. Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ …
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu samai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai dua mata kaki. (QS Al-Maidah/5: 6)
Tidak ada wudhu berarti tidak ada shalat, akan tetapi adanya wudhu tidak mesti ada shalat, karena seseorang melakukan wudhu itu mungkin untuk keperluan membaca al-Qur’an, hendak belajar, bekerja, dll.
Contoh lain, kemampuan melakukan perjalanan ke Baitullah merupakan syarat adanya kewajiban haji bagi seorang mukallaf.
Antara “sebab” dengan “syarat” memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah tidak ada “sebab” mengakibatkan tidak adanya hukum. Sama halnya apabila tidak ada “syarat”, hukum pun tidak ada. Sementara itu perbedaannya adalah dengan adanya “sebab” harus ada hukum, akan tetapi, dengan adanya “syarat” tidak harus ada hukum.
3) Mani’ (Penghalang) yaitu sesuatu yang karenanya menyebabkan tidak adanya hukum. Meskipun sebab telah ada, dan syarat telah terpenuhi, akan tetapi apabila terdapat mani’ maka hukum yang semestinya bisa diberlakukan menjadi tidak bisa diberlakukan.
Contohnya, apabila seseorang mempunyai keluarga / kerabat sebagai ahli waris. Akan tetapi, apabila keduanya berlainan agama, maka keduanya tidak berhak saling mewarisi. Hal ini karena berlainan agama menjadi mani’ atau penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan harta peninggalan.
Sabda Rasulullah SAW: لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَ لاَ يَرِثُ الكَافِرُ المُسْلِمَ
Tidak mewarisi orang Islam atas harta waris orang kafir, dan sebaliknya rang kafir tida mewarisi atas harta orang Islam. (HR Jama’ah)
Contoh lain, pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ahli waris terhadap muwarris, menjadi penghalang bagi keduanya untuk saling mewarisi, haid bagi seorang perempuan menjadi penghalang kewajiban sholat, najis pada pakaian menghalangi sahnya shalat, dll.
Selain tiga hal di atas, di kalangan Ulama Ushul Fiqih juga memasukkan shah (shahih), batal, azimah dan rukhsoh dalam hukum wadh’i.
Suatu perbuatan dikatakan shah (shahih) secara hukum apabila telah dilaksanakan sesuai syarat, rukun dan wajibnya. Misalnya , pernikahan dikatakan shah apabila telah memenuhi syarat-syarat rukun-wajib nikah. Amal ibadah yang shah (shahih)lah yang diharapkan ada pahala dari Allah SWT.
Suatu perbuatan dikatakan batal apabila tidak memenuhi ketentuan syara’ baik syarat, rukun dan wajibnya. Misalnya, pernikahan dilaksanakan tanpa menghadirkan calon mempelai laki-laki, maka pernikahan itu disebut batal di sisi hukum.
Azimah adalah hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk umum bagi seluruh mukallaf, dalam semua keadaan dan waktu. Misalnya, puasa wajib pada bulan Ramadhan, sholat fardhu lima waktu sehari semalam dan lain sebagainya.
(a) Adapun rukhsoh adalah peraturan tambahan yang ditetapkan Allah SWT sebagai keringanan karena ada hal-hal yang memberatkan mukallaf sebagai pengecualian dari hukum-hukum yang pokok.
Rukhsah terbagi menjadi 4 macam.
(a.a) Dibolehkannya melakukan sesuatu yang seharusnya diharamkan. Hal ini dilakukan karena dalam keadaan darurat.al baqarah :173, an nahl: 115. Contoh:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Baqarah: 173).
(a.b) Diperbolehkan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, apabila ada udzur yang bersifat dibolehkan secara syar’i.
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (Q.s al Baqarah/2: 184).
(a.c) Menganggap sah sebagian aqad-aqad yang tidak memenuhi syarat tetapi sudah biasa berlaku di masyarakat. Contohnya jual beli salam (jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu terjadi aqad jual beli / sistem pesanan).
(a.d) Tidak berlakunya (pembatalan) hukum-hukum yang berlaku bagi umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW. Contoh : memotong bagian kain yang terkena najis, mengeluarkan zakat ¼ dari jumlah harta, tidak boleh melakukan sholat selain di masjid. Sebagaimana firman Allah: لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا الاَّ وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (al-Baqarah/2 : 286)

3. Unsur-Unsur Hukum Islam
a. Mahkum Bihi / Mahkum Fihi (مَحْكُوم بِهِ \ مَحْكُوم فِيْه ِ)
1) Pengertian Mahkum Bihi / Mahkum fihi المَحْكُومُ فِيْهِ: هُوَ الفِعْلُ الُمكَلَّفِ الَّذِى تَعَلَّقَ بِهِ حُكْمُ الله
Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum Allah (hukum syara’).
Para ahli Ushul Fiqih menyebutnya dengan Ahkamul Khomsah (hukum yang lima) yaitu:
a) Yang berhubungan dengan ijab dinamai wajib.
b) Yang berhubungan dengan nadb dinamai mandub/ sunat
c) Yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram
d) Yang berhubungan dengan karahah dinamai makruh
e) Yang berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.
Secara lengkap sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya.
Contoh firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” (QS al-Baqoroh/2: 183). Firman Allah SWT di atas berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yaitu berpuasa, status hukumnya adalah wajib.
2) Syarat-syarat Mahkum bihi/fihi adalah sebagai berikut:
a) Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh orang mukallaf sehingga ia dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara’.
b) Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang mukallaf bahwa benar-benar berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya ada kehendak dan rasa taat kepada Allah SWT.
c) Taklif / perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat dilakukan oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena tidak ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana. Misalnya, tidak mungkin manusia diperintahkan untuk terbang seperti burung.
d) Taklif / perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lainnya, supaya dapat ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat.
b. Mahkum ‘Alaih
1) Pengertian Mafkum ‘Alaih (مَحْكُوْم عَلَيْهِ)
Mahkum alaihi adalah orang mukallaf (المحكوم عليه وهوالمكلف) yang mendapatkan khitab/ perintah Allah SWT dan perbuatan itu berhubungan dengan hukum syara’. Contohnya, Allah SWT memerintahkan shalat, puasa, larangan zakat berbakti kepada orangtua, menjauhi zina, larangan minum-minuman keras, dll.
Perintah-perintah tersebut ditujukan kepada orang mukallaf, dan bukan ditujukan kepada anak-anak atau orang yang terganggu pikirannya atau gila. Perintah dan larangan Allah SWT selalu disesuaikan dengan kemampuan manusia. Semua hukum baik yang menyangkut hak-hak Allah SWT maupun hak-hak manusia tidak dibebankan kecuali kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, kemampuan menjadi dasar adanya taklif/tuntutan. Allah SWT berfirman: …لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. ( al-Baqarah/2 : 286).
2) Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf):
a) Mukallaf adalah orang yang mampu memahami dalil taklif baik itu berupa nash Al-Qur’an atau As-Sunnah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukallaf.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّي يَستَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّي يَحْتَلِمَ وَعَنِ اْلمَجْنُوْنِ حَتَّي يُفِيْقَ) روه أبواود النسائ(
b) Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli di sini ialah layak, mampu, atau wajar dan pantas untuk menerima perintah tersebut.
i. Mukalaf adalah orang yang melaksanakan taklif/tuntutan khitab Allah SWT dengan sempurna sesuai dengan kemampuannya. Yaitu orang tersebut selain sudah baligh juga dalam keadaan sehat akalnya.
Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan kewajiban dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
1) Tidak sempurna, ia dapat menerima hak tapi tidak layak menerima kewajiban. Contohnya adalah janin yang masih dalam perut ibu. Janin tersebut berhak menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat, tapi ia tidak bisa menunaikan kewajiban. Ada kalanya mukallaf tidak sanggup mengerjakan hukum-hukum yang sudah dibebankan kepadanya. Keadaan yang menghalanginya menunaikan hak dan kewajiban yang sudah ditetapkannya ini disebut ‘awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). Para ulama ushul fiqih menggolongkan ‘awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). ini menjadi dua kelompok.
(1) Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak bisa dihindari oleh mahkum alaih. Ia hadir dengan sendirinya tanpa dikehendaki. Misalnya, gila, kurang akal (idiot), lupa, tertidur, dan pingsan. Orang-orang yang terkena penghalang samawi seperti ini dihukumi sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk melakukan hak dan kewajiban.
(2) Penghalang kasby, yaitu penghalang yang terjadi lantaran perbuatan manusia itu sendiri seperti mabuk, bodoh, banyak hutang, boros, dan sebagainya. Penghalang kasby dapat dihindari dengan usaha manusia itu sendiri.
2) Belum sempurna, ia dapat melaksanakan perintah Allah SWT tetapi belum mempunyai kewajiban, yaitu bagi anak-anak mumayyiz (anak yang sudah dapat membedakan baik dan buruk perbuatan) tetapi belum baligh.
3) Sempurna, apabila sudah menerima hak dan layak baginya melakukan kewajiban, yaitu bagi orang yang sudah dewasa dan berakal sehat (mukallaf).

1. Pengertian Hukum Syar’i secara bahasa adalah :
ِاثْباَ تُ شَيءٍالِىَ شَيءٍ
“Menetapkan sesuatu atas sesuatu, atau memindahkan sesuatu daripadanya.”
menurut istilah Ahli Ushul Fiqih, hukum ialah :
خِطَابَ اللهِ اْلمُتَعَلِّقُ بِاءَفْعَا لِ الْمُكَلِّفِيْنَ طَلَبًا اَوْتَخْيِيْرًااَوْوَضْعًا
“Khitab (titah) Allah atau sabda Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal), baik tuntutan suruhan, larangan atau menerangkan kebolehan sesuatu, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi suatu hukum.”
2. Hukum syariat menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan wadh’i.
3. Hukum Taklif adalah Hukum yang menetapkan tuntutan terhadap seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu, atau tuntutan untuk meninggalkan sesuatu, atau membolehkan memilih antara melakukan atau meninggalkan sesuatu.Sehingga hukum taklifi adalah wajib, sunah, mubah, haram dan makruh
4. Hukum Wadh’I yaitu hukum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang untuk berlakunya suatu hukum.
5. Selain hal di atas, di kalangan Ulama Ushul Fiqih juga dikenal istilah shah (shahih), batal, azimah dan rukhsoh.
6. Unsur-unsur hukum islam meliputi :
c. Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum Allah (hukum syara’).”
d. Mahkum alaihi adalah orang mukallaf yang mendapatkan khitab/ perintah Allah SWT dan perbuatan itu berhubungan dengan hukum syara’.

KAMUS ISTILAH
1. Mukallaf : orang yang telah dewasa dan berakal
2. Mandub : Sunah
3. Shahih : shah atau benar
4. Rukhshoh : keringanan
5. Ahkamul khomsah : lima hukum islam (wajib, sunah, boleh ,makruh, haram)

TANBIH ( التنبه)



كَيْف تَقْضِى اِذَا عُرِضَ لَكَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ اَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ : فَاءِنْ لَمْ يَكُنْ فِى كِتَابِ اللهِ ؟ قًالَ: فَبِسُنَّةِ رَسٌول اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سلم, قال: فَاءِنْ لَمْ يَكُنْ فِى سُنَّةِ رَسٌول اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سلم ؟ اِجْتِهَد رَأي, قَال: الحمد لله وفَّقَ رَسُولَ رَسولِ اللهِ بِمَا يَرْضىَ رَسول الله (رواه التر مذى)


Bagaimana engkau dapat memutuskan, jika kepadamu disserahkan urusan peradilan ? Ia (Muaz) menjawab: saya akanmemutuskan dengan kitabullah, bertanya lagi nabi saw, jika tidak engkau dapatkan dalam kitabullah? Ia menjawab,”dengan sunnah rasulullah saw, lalu nabi bertanya: apabila tidak engkau dapati dalam sunnah rasulullah saw ? saya lakukan dengan ijtihad bi ra’yi’’ berkatalah Muaz”, maka nabi menepuk dadaku dan bersabda, sewgala puji bagi Allah yang telah member taufik kepada utusan rasulullah, sebagaimana rasulullah telah meridhainya.

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (48)
“Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421] terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu[422], kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu,” (QS. Al Maidah: 48).












IFTITAH



Dalam hidup bersama, manusia membutuhkan panduan yang mengatur tata laku kehidupan. Panduan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Jika panduan tersebut dilanggar, konsekuensinya jelas: hukuman. Demikian halnya dalam Islam. Sebagai umat Islam, sudah seharusnya kita menaati hukum Islam. Memang benar bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Namun jika pilihan pada Islam sudah dijatuhkan, akibat logisnya adalah menaati hukum Islam yang sudah dipilih tersebut.

Dalam Islam, sumber prima hukum Islam adalah Al-Qur’an. Sebagai Khalik, Allah lebih mengetahui yang terbaik bagi manusia. Sesuatu yang kita sangka buruk belum tentu buruk. Sangkaan itu muncul karena kita tidak atau belum mengetahui hikmahnya. Jika mengetahuinya, niscaya kita jauh dari prasangka buruk itu.

Setelah Al-Qur’an, sumber panduan kita adalah sunah Nabi. Perbuatan, perkataan, dan tingkah laku Nabi adalah teladan bagi kita, umat Islam. Jika berpegang teguh pada keduanya, niscaya kita akan selamat dunia dan akhirat.

Al-Qur’an dan sunah Nabi tidak dapat berbicara sendiri. Keduanya memerlukan penafsiran. Tugas menafsirkan inilah yang pertama-tama diemban akal. Lebih jauh, Islam juga menghargai akal manusia sebagai sumber hukum. Sebab, banyak permasalahan barn yang tidak ditemu­kan hukumnya dalam kedua sumber hukum tersebut. Berdasarkan nalar yang sehat yang tidak bertentangan dengan prinsip dan tujuan hukum Islam, nalar manusia tersebut dapat dijadikan sumber hukum. Namun, sifat akal sebagai sumber hukum Islam bersifat pelengkap.














MENGENAL HUKUM ISLAM


Hukum Syariat
Pengertian syari’at
Secara bahasa, kata syariat berarti jalan. Secara istilah, syariat adalah

خِطَابُ الشَّارِعِ الْمُتَعَلِّقُ بِاَفْعَالِ الْمُتَكَلَّفِيْنَ بِالاِفِتِضَاءِ اَوِالتَّخْيِيْرِ اَوِ الْوَضْعِ مَا طَلَبَ عَلَى وَجْهِ اللُّزُوْمِ فِعْلُهُ
Artinya: Doktrin Allah yang bersangkutan dengan perbuatan seorang mukalaf, baik berupa tuntutan atau suruhan untuk memilih atau berupa ketetapan.

Hukum syariat mencakup segala doktrin Allah SWT yang disyariat­kan kepada manusia berupa akidah, akhlak, ibadah, ataupun muamalah.

Pembagian Hukum Syari’at
Ulama ushul fikih membagi hukum syariat menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh`i. Penjelasan tentang kedua hukum tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.

Hukum Taklifi
Pengertian Hukum Taklifi
Hukum taklifi ialah hukum yang 1) menuntut mukalaf melakukan perbuatan, 2) menuntut mukalaf meninggalkan perbuatan, atau 3) menuntut mukallaf memilih antara melakukan atau meninggalkan perbuatan. Agar lebih jelas, cermatilah contoh-contoh berikut.

Macam-macam hukum Taklifi
Berdasar isi tuntutannya:
a). Contoh hukum taklif yang menuntut mukalaf untuk mengerjakan suatu perbuatan.

1) Berpuasa pada bulan Ramadan, seperti terlihat jelas dalam Q.S. al­-Baqarah [2]: 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183)
Terjemahan: Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas ka­mu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

2) Melakukan ibadah haji bagi orang yang mampu. Cermati Q.S. Ali Imran [3]: 97.

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (97)
Terjemahan: Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke ke Baitullah, yaitu bagi orang­-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.
b). Contoh hukum taklifi yang menghendaki mukalaf untuk meninggalkan perbuatan.

1) Makan bangkai, darah, dan daging babi, seperti tertera dalam Q.S. al­-Maidah [5]: 3.

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ … (3)
Terjemahan: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.

2) Berkata tidak sopan kepada kedua orang tua, seperti tersurat dalam Q.S. al-Isra’ [17]: 23.

فلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ ….. (23)
Terjemahan: …. maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan ke­pada keduanya perkataan “ah …..

Dua contoh ayat tersebut berisi larangan yang tegas, sehingga kita tidak diperbolehkan mengerjakannya. Bila melanggar.

c. Contoh hukum taklifi yang membebaskan mukalaf untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan perbuatan.

1) Seusai melaksanakan salat Jumat, kita dibebaskan untuk bertebaran atau berdiam diri di rumah. Lihat Surah al-Jumu’ah [62]: 10 berikut.

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10)
Terjemahan: Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi ….

2) Mengqasar salat ketika bepergian jauh seperti tertera dalam Q.S. al­-Nisa’ [4]: 101, “Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqasar salat, jika kamu takut diserang orang kafir.”

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا (101)
Berdasar ketegasan isi tuntutannya
Melihat definisi di atas, maka hukum taklifi bisa berupa Tuntutan ( thalabun), Meninggalkan (tarkun) atau memilih (takhyirun). Sementara isi ketiga hal tadi bisa jadi disampaikan tegas (sharih) atau tidak tegas. Jika tuntuntan disampaikan secara tegas maka menjadi wajib, jika tuntutan disampaikan secara tidak tegas maka menjadi sunnah, jika tuntutan meninggalkan disampaikan secara tegas maka menjadi haram, jika tuntutan meninggalkan disampaikan secara tidak tegas maka menjadi makruh, jika tuntutan antara memilih antara melakukan atau meninggalkan maka menjadi mubah.

Wajib

Kalian tentu sering mendengar kata wajib. Sebab kata ini tidak lagi menjadi istilah yang dimonopoli hukum Islam. Sekarang, secara gam­pangan segala keharusan entah berhubungan dengan agama atau tidak bisa diwakili oleh kata wajib. Menurut syara’, wajib adalah ,مَاطَلَبَ عَلَى وَجْهِ اللُّزُوْمِ فِعْلُهُ sesuatu yang diperintahkan (oleh Allah) agar dikerjakan secara pasti’. Perintah itu harus dilakukan oleh mukalaf sesuai dengan petunjuk yang telah ditentukan. Konsekuensi hukum wajib adalah pahala bagi yang mengerjakannya dan dosa bagi yang mening­galkannya. Contoh hukum wajib adalah salat, puasa, membayar zakat, menunaikan haji bagi yang mampu, berbakti kepada orang tua, dan lain sebagainya. Semua perintah tersebut hukumnya pasti dan tegas.

Sunah

Sunah ialah perintah yang datang dari Allah untuk dilakukan oleh mukalaf secara tidak tegas. Perbedaanya dengan wajib adalah kadar ketegasan perintah tersebut. Perintah dalam hukum sunah tidak sampai pads dera­jat wajib. Hukum sunah pun punya konsekuensi. Sunah mendatangkan pahala bagi pelakunya, tetapi tidak mendatangkan dosa dan siksa bagi yang meninggalkannya. Dengan istilah lain, sunah terpuji jika dikerjakan dan tidak tercela jika ditinggalkan. Sunah dalam istilah ulama ushul fikih disebut juga mandub, nafilah, tatawwu’, mustahab, dan ihsan. Contoh dari perkara yang sunah ialah mencatat hutang.

Mubah

Mubah adalah sesuatu yang oleh Allah diperbolehkan bagi mukalaf untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dengan kata lain, Allah tidak menyuruh dan tidak melarang. Mubah tidak berpahala jika diker­jakan dan tidak pula berdosa jika ditinggalkan. Gampangnya, suka-suka kita mau mengerjakannya silakan, mau meninggalkannya juga silakan, tidak ada yang memberi sanksi. Contohnya, berburu setelah melakukan haji, bertebaran setelah salat Jumat, dan sebagainya.

Makruh

Pengertiannya ialah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah agar seseorang tidak mengerjakan sesuatu. Tapi perintah untuk tidak mengerjakan se­suatu itu sifatnya tidak pasti. Dengan kata lain, larangan tersebut tidak sampai ke derajat haram. Contohnya, larangan Allah kepada manusia untuk bertanya sesuatu yang apabila dijelaskan akan menyusahkan.

Haram

Haram ialah مَاطَلَبَ الشَّارِعُ الْكَفَّ عَنْ فِعْلِهِ عَلَى وَجْهِ اللُّزُوْمِ tuntutan yang tegas dari Allah SWT untuk tidak dikerjakan secara pasti. Jadi tidak ada tawar-menawar, kecuali harus ditinggalkan. Konsekuensi dari hukum haram adalah seseorang yang mengerjakan akan mendapat dosa dan kehinaan sedangkan bagi yang meninggalkannya akan mendapat pahala dan kemuliaan. Contohnya, berzina, mencuri, minum khamar, membunuh tanpa hak,

Hukum Wad’i
Hukum wadh’i ialah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai suatu sebab adanya yang lain; atau syarat bagi sesuatu yang lain; atau peng­halang (mani’) adanya sesuatu yang lain. Jadi, jenis hukum wadh’i adalah sebab, syarat, dan penghalang (mani’).

SebabSebab ialah sesuatu yang oleh syari’ (pembuat hukum, Allah) dijadikan sebagai sebab adanya sesuatu yang lain yang menjadi akibatnya. Ketiadaan sebab menjadikan sesuatu yang lain itu pun tidak ada. Dalam hukum, keberadaan sebab bersifat mutlak. Ketiadaan sebab menjadikan hukum tidak ada. Contohnya, kewajiban salat menjadi sebab kewajiban mengambil wudu; mencuri menjadi sebab adanya hukum potong tangan; atau orang yang berhasil memenangkan peperangan menjadi sebab kebolehan merampas harta benda musuh.

Syarat
Syarat ialah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum. Dengan tidak adanya syarat, hukum pun menjadi tidak ada. Tapi tidaklah pasti dengan adanya syarat, hukum menjadi ada. Misalnya, kemampuan melakukan perjalanan ke Baitullah merupakan syarat adanya kewajiban haji bagi seseorang mukalaf kehadiran saksi dalam akad pernikahan merupakan syarat bagi sahnya akad nikah dan wudu sebagai syarat untuk sahnya salat.

Penghalang (mani’)
Hukum wadh’i yang ketiga adalah penghalang (mani’, yaitu se­suatu yang keberadaannya dapat meniadakan atau membatalkan hu­kum. Mani’ hanya muncul ketika sebab dan syarat itu telah tampak secara jelas. Contohnya, si anak adalah ahli waris dari orang tuanya. Namun, ia bisa tidak mendapatkan harta warisan dari orang tuanya karena ada penghalang (mani’). Penghalang itu bisa berupa kemurtadan si anak atau kematian orang tuanya ternyata disebabkan pembunuhan oleh si anak.

Unsur-unsur Hukum Islam
Mahkum Fih
Mahkum Fih ialah perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan hukum syara’. Contohnya, kewajiban memenuhi janji.

Syarat-syarat perbuatan yang dibebankan kepada mukalaf.

1.Perbuatan itu benar-benar diketahui oleh mukalaf, sehingga ia dapat melakukan perbuatan itu sesuai dengan perintah. Berdasarkan syarat ini, nas-nas Al-Qur’an yang bersifat global (belum jelas) tidak wajib untuk diamalkan hukumnya sebelum ada penjelasan. Contohnya, perintah haji dalam Al-Qur’an. Perintah ini tidak wajib diamalkan hu­kumnya sebelum ada penjelasan dari Rasulullah. Tetapi, ketika Rasul sudah menjelaskan manasik haji, perintah ini wajib dilaksanakan.
2.Diketahui secara jelas bahwa hukum itu datang dari orang yang me­miliki wewenang untuk memerintah atau orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukalaf.
3.Perbuatan yang diperintahkan itu mungkin atau dapat dilakukan oleh mukalaf sesuai dengan kadar kemampuannya. Berdasarkan syarat ini, tidak sah memberikan beban yang mustahil (di luar kemampuan) kepada mukalaf. Contohnya, tidaklah mungkin manusia diperintah untuk terbang seperti burung.
Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘Alaih ialah mukalaf yang mendapatkan khitab dari Allah di mana perbuatannya berhubungan dengan hukum syariat.

Syarat-syarat mukalaf adalah sebagai berikut.

1.Mukalaf dapat memahami dalil taklif baik itu berupa nas-nas Al-Qur’an atau sunah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif tidak dapat melaksanakan dengan benar spa yang diperintahkan kepadanya. Adapun alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Oleh karena itu orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukalaf.
2.Mukalaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang tergantung ke­padanya. Maksud ahli di sini ialah layak, mampu, atau wajar untuk menerima perintah tersebut.
Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan kewajiban dikelompokan menjadi dua.

1) Tidak sempurna, ia dapat menerima hak tetapi tidak layak menerima kewajiban. Contohnya adalah janin yang masih dalam perut ibu. Janin tersebut berhak menerima wasiat, tetapi ia tidak bisa menunaikan kewajiban.

2) Sempurna, apabila sudah layak menerima hak dan layak melakukan kewajiban, yaitu orang-orang yang sudah dewasa (mukalaf).

Bagaimana seluk beluk Al-Qur’an dan sunah Nabi? Bagaimana pula kedudukan akal dalam Islam? Untuk lebih jelasnya, kalian dapat me­mahami pembahasan berikut.

Sumber-sumber Hukum Islam Yang Disepakati
Al-Qur’an: Sumber Hukum Islam Utama
Dari segi bahasa, Al-Qur’an berarti bacaan. Secara istilah, al-Qur’an adalah lafal berbahasa Arab yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. melalui Jibril yang sampai kepada kita secara mutawatir, ditulis dalam mushaf, disusun mulai Surah al-Fatihah dan diakhiri Surah an-Nas, dan membacanya dianggap sebagai ibadah. Al-Qur’an merupak­an wahyu yang tampak (wahy zahir), yaitu pesan Allah kepada Nabi SAW. yang disampaikan oleh Malaikat Jibril dengan kata-kata yang sepenuhnya dari Allah.

Al-Qur’an merupakan mukjizat. Ia bersifat melemahkan para penentangnya. Artinya, Al-Qur’an memiliki keistimewaan tak tertandingi, baik yang berhubungan dengan uslub (gaya bahasa), keindahan susunan redaksi, maupun jangkauan makna yang dikandungnya. Otentisitas Al-Qur’an dijaga dan dijamin Allah. Salah satu bentuk penjagaan ini adalah usaha pembukuan Al-Qur’an oleh para sahabat Nabi dan periwayatan­nya secara mutawatir. Oleh karena itu, tidak ada perubahan baik berupa pengurangan maupun penambahan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Jika ada seseorang yang berusaha mengubahnya, niscaya ia akan ketahuan. Dengan demikian, kita percaya sepenuhnya tanpa keraguan terhadap ke­dan keaslian Al-Qur’an.

Al-Qur’an tidak diturunkan secara langsung dalam wujud tiga puluh juz seperti yang sekarang biasa kita lihat dalam ben­tuk sebuah kitab (buku). Ia diturunkan secara berangsur-angsur selama masa kenabian Rasulullah saw. Tentu saja ada maksud di balik keberangsuran ini. Pertama, tasbit al-fuad, memantap­kan hati berupa ketenangan dan kepuasan dalam menerima dan menjalankan isi Al-Qur’an baik bagi Nabi maupun umat­nya. Kedua, tartil, yaitu membaca dengan baik dan lancar. Allah berkehendak agar ayat-ayat Al-Qur’an dapat dihafal dengan baik secara menyeluruh sehingga keasliannya dapat terjamin. Untuk memudahkan hat itu, diturunkanlah Al-Qur’an secara sedikit­ demi sedikit dan bertahap. Seandainya Al-Qur’an diturunkan sekaligus, niscaya umat Islam sulit untuk menghafalnya.

Dalam menjalani hidup, sering kali kita bingung akan sesuatu yang hendak kita perbuat. Dalam kebingungan ini, kita memerlukan pedoman supaya kebingungan kita tidak bertam­bah atau berlarut-larut. Untuk itu, tengoklah Al-Qur’an. Tiada lain, Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk (huda) untuk me­mecahkan permasalahan yang dihadapi manusia. Inilah salah satu wujud kasih sayang (rahmah) Allah kepada hamba-Nya, umat manusia. Banyak sekali ayat yang menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk Allah kepada manusia. Misalnya, per­hatikan ayat berikut.

7ù=Ï? àM»tƒ#uä É=»tGÅ3ø9$# ÉO‹Å3ptø:$# ÇËÈ “W‰èd ZpuH÷qu‘ur tûüÏZÅ¡ósßJù=Ïj9 ÇÌÈ

Dengan melihat Al-Qur’an, kita bisa tahu dengan tegas apa yang semestinya kita lakukan. Kita tahu mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang haram dan mana yang halal; mana yang boleh dan mana yang terlarang. Demikianlah, karena AI-Qur’an juga berfungsi sebagai pem­-eda (furqan). Fungsi pembeda ini ditegaskan Al-Qur’an dalam Surah al-Baqarah [2]: 185.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ … (185)
Terjemahan, Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturun­kan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil.

Al-Qur’an juga diturunkan sebagai pelajaran (maui\zah). Melalui pengajaran Al-Qur’an manusia akan terbimbing dalam kehidupannya sehingga kebahagiaan dunia dan akhirat tercapai. Perhatikan penegasan Al-Qur’an dalam Surah Yunus [10]: 57 berikut.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ (57)
Terjemahan 1 Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pela­jaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk Berta rahmat bagi orang yang beriman.

1.Kejelasan Makna Hukum dalam Al-Qur’an
Dilihat dari kejelasan maknanya, ayat Al-Qur’an terbagi menjadi dua, yaitu ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Cobalah perhatikan ayat berikut.

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ…(7)
Terjemahan Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkam-at, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat …. (Q.S. Ali Imran [3]: 7)

Apa maksud dua jenis ayat tersebut?

1.Ayat muhkam. Yaitu, ayat yang jelas maknanya. Kita tidak ragu lagi ketika memahaminya. Kita juga terhindar dari kemunculan beberapa pendapat dalam memaknainya. Ayat-ayat ini dikelompokkan menjadi qat’iyyah ad-dalalah (dalil yang hukumnya bersifat pasti). Contoh ayat muhkam adalah perintah salat dan puasa (“aqim as-salah” dan “kutiba ‘alaikum as-siyam”). Untuk lebih jelas, bukalah Al-Qur’an Surah Luqman [31]: 7 dan al-Baqarah [2]: 183. Secara tersurat tidak ada makna lain dari ayat-ayat tersebut, kecuali perintah mendirikan salat dan melak­sanakan puasa.




2.Ayat mutasyabih. Artinya, ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan. Keberadaan ayat mutasyabih disebabkan Al-Qur’an menggunakan kata yang dapat digunakan untuk dua maksud. Ayat-ayat mutasyabih sifatnya zanniyah ad-dalalah (dalil yang hukumnya bersifat dugaan/tidak pasti). Misalnya, kata quru’ dalam masalah idah (masa menunggu seorang perempuan setelah berpisah dengan suaminya) dalam Surah al-Baqa­rah [2]: 228. Kata quru dapat berarti suci, dapat pula berarti haid.
2.Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum
Umat Islam sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam utama. Al-Qur’an merupakan pedoman paling otoritatif bagi umat Islam, sehingga hukum-hukumnya adalah undang-undang yang harus diikuti dan ditaati. Kewajiban untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hu­kum ditegaskan oleh Allah SWT. dalam Surah an-Nisa’ [4]: 59.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ … (59)
Terjemahan: Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taati­lah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya).

Sunah: Sumber Hukum Islam Kedua
Bila Al-Qur’an adalah wahyu yang tampak, sunah adalah wahyu in­ternal (wahy batin). Wahyu internal disampaikan Allah kepada Nabi SAW dalam bentuk inspirasi atau ilham tentang suatu konsep. Nabi kemudian menyatakan konsep tersebut dengan bahasanya sendiri. Jadi, seluruh perkataan Nabi termasuk wahyu.

Secara bahasa, sunah artinya jalan, cara, atau metode. Bisa pula ia berarti perilaku, tabiat, watak, atau hukum. Sedangkan menurut is­tilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Zahra, sunah adalah

اَقْوَالُ النَّبِىِّ وَاَفْعَالُهُ وَتَقْرِيْرَاتُهُ
Artinya : Perkataan, perbuatan, dan pengakuan Nabi.

Dengan demikian, segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuan Nabi terhadap suatu peristiwa, dapat dikatakan sunah. Dari pengertian di atas, dapat pula disimpulkan bahwa sunah Nabi terbagi menjadi tiga macam, yaitu sunah yang terkait dengan perkataan Nabi, sunah yang terkait dengan perbuatan Nabi, dan sunah yang terkait dengan pengakuan Nabi.

1.a. Macam-macam Sunah
1) Sunah Qauliyah

Qaul artinya perkataan, sedangkan qauliyah berarti yang berkaitan dengan perkataan. Jadi, sunah qauliyah adalah se­luruh perkataan Nabi. Perkataan Nabi tersebut didengar oleh sahabat dan diteruskan kepada tabi’in. Contohnya, sahabat mendengar bahwa Nabi berkata, “Barang-siapa yang tidak salat karena tertidur atau lupa, hendaklah ia mengerjakan salat pads saat ia telah teringat”.

Contoh lain:

عَنْ يَحْيَ بْن حَسَنٍ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ لاَضَرَرَوَلاَ ضِرَارَ (رواه مَالك)
Artinya: Dari Yahya bin Imarah bin Hasan Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak boleh membuat kesusahan dan tidak boleh membalas dengan ke­susahan juga.“ (H. R. MaIik)

2) Sunah Fi’liyah

Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat dan diperhatikan oleh sahabat Nabi disebut dengan sunah fi’liyah. Perbuatan Nabi dapat beraneka ragam bentuknya, dilihat dari kedudukan Nabi sebagai manusia biasa dan utusan Allah.

Pertama, perbuatan Nabi yang merupakan kebiasaan yang lum­rah dikerjakan manusia pada umumnya, seperti cara makan, minun, berdiri, duduk, berpakaian, memelihara jenggot, dan mencukur kumis. Kesemuanya merupakan tabiat Nabi sebagai manusia biasa. Menurut sebagian ulama, kebiasaan kemanusiaan Nabi seperti itu dapat berdampak hukum, yaitu sebagai sunah untuk diikuti. Tapi, sebagian ulama lain men­gatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan Nabi seperti itu tidak berdampak hukum dan dengan demikian tidak harus diikuti.

Kedua, perbuatan Nabi yang hanya khusus dilakukan oleh Nabi, tapi tidak wajib bagi umatnya untuk mengikuti. Misalnya, Nabi wajib salat Duha, Tahajud, dan berqurban. Umat Islam hanya disunahkan melak­sanakannya. Contoh lain, Nabi boleh menikahi perempuan lebih dari empat, namun umatnya tidak boleh lebih dari empat.

Ketiga, perbuatan Nabi yang merupakan penjelasan hukum yang ter­kandung dalam Al-Qur’an, seperti cara salat, puasa, haji, jual beli, dan utang-piutang. Dengan demikian, semua perbuatan itu berdampak pada pembentukan hukum bukan hanya bagi Nabi, melainkan juga bagi umatnya. Misalnya, hadis Nabi berikut.

عَنْ مَالِكٍ بْنِ اَلْجُوَيْرِثَ قََالَ قَالَ رُسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِي اُصَلِّي (رواه البخارى)
Artinya: Dari Malik bin al–Juwairis is berkata, “Rasulullah SAW bersabda: ‘Salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku salat.”‘ (H.R. Bukhari)

3) Sunah Taqririyah

Sunah taqririyah adalah sikap Nabi terhadap suatu kejadian (perbuat­an atau perkataan sahabat) yang dilihatnya. Melihat kejadian tersebut, Nabi ada kalanya mendiamkannya, tidak menunjukkan tanda-tanda mengingkarinya, menyetujuinya, atau menganggapnya sebagai perbuat­an baik. Inilah bentuk ikrar Nabi terhadap kejadian tersebut, sehingga perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan Nabi sendiri yang hukum­nya boleh dilakukan. Contohnya, ketika Nabi mendiarnkan orang yang memakan binatang sebangsa biawak. Diamnya Nabi ditafsirkan sebagai kebolehan memakan daging tersebut. Seandainya daging tersebut haram, niscaya Nabi tidak akan tinggal diam. Ia pasti melarangnya.

2. Periwayat Sunah
Lihat dari jumlah orang yang meriwayatkannya, sunah dapat dibedakan menjadi tiga.

1) Hadis Mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sekelorn­pok perawi dan di antara mereka tidak mungkin bersepakat untuk mengatakan dusta, karena jumlah mereka yang banyak, memiliki sifat jujur, dan berbeda tempat. Dari kelompok inilah kemudian dic­eritakan lagi oleh kelompok perawi selanjutnya yang sepadan hingga sampai kepada kita tanpa ada kebohongan. Hadis mutawatir banyak berisi tentang perbuatan Nabi seperti salat, puasa, haji, azan, dan se­bagainya. Sedikit sekali hadis mutawatir ini dalam bentuk perkataan Nabi (sunah qauliyah). Hadis mutawatir ini sangat tinggi derajatnya sehingga dapat dijadikan sumber hukum yang qa’ti (‘ilm yaqin bi ad-daruri). Contoh hadis mutawatir.

عَنْ عَامِرِبْنِ عبْدِاللهِ بْنِ الزّبَيْرِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا مَقْعَدَهُ مَنَ النَّارِ (رواه البخاري)
Artinya:Dari Amir bin Abdullah bin Zubair dari ayahnya ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: ‘Siapa saja yang sengaja berdusta atas na­maku, maka bersiaplah mengambil tempat di neraka. “‘ (H.R. Bukhari)

2) Hadis Masyhur. Yaitu hadis yang diriwayatkan dari Rasul oleh satu atau dua kelompok sahabat yang tidak sampai tingkat mutaw
3) Hadis Ahad. Yaitu hadis yang disampaikan dan diterima dari Nabi secara perorangan dan dilan­jutkan periwayatannya sampai kepada perawi terakhir secara perorangan pula. Kehujjahan hadis ahad dalam hukum hanya mencapai pe­ringkat zan.

Dilihat dari dari kualitasnya, hadis secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga.

1) Hadis Sahih. Yaitu hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang adil dan memiliki ingatan yang kuat, serta tidak ter­dapat kejanggalan dan ‘illat (penyakit/cacat). Hadis sahih ini terbagi menjadi sahih li\zatih dan sahih ligairihi.

2) Hadis Hasan, yaitu hadis yang bersambung sanadnya, diriwayat­kan oleh perawi yang adil namun lemah ingatannya, tidak terdapat kejanggalan di dalamnya, dan tidak berillat. Hadis hasan terbagi men­jadi hasan li\zatih dan hasan ligairih.

3) Hadis Da’if, yaitu hadis yang tidak memenuhi standar hadis sahih dan hadis hasan.







3. Kedudukan Sunah terhadap Al-Qur’an
Tidak ada keraguan bahwa sunah merupakan sumber hukum Islam. Lalu, bagaimana kedudukan sunah Nabi terhadap Al-Qur’an?

1) Ta’kid dan taqr-ir. Maksudnya, menguatkan dan mengukuhkan hu­kum yang ada dalam Al-Qur’an. Jadi kedudukan hukum itu sangat kuat karena berdasar pada dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan hadis. Contohnya, hukum wajib salat, puasa, zakat, haji, larangan syirik kepada Allah, menyakiti kedua orang tua, membunuh tanpa hak, dan sebagainya. Semua hukum tersebut ditegaskan oleh Al-Qur’an, kemudian dikokohkan oleh hadis Nabi.

2) Bayan, taqyid, dan takhsis. Artinya, merinci dan menafsiri kata-kata yang masih global, membatasi, dan mengkhususkan hukum-hukum yang masih bersifat umum dalam Al-Qur’an. Contohnya, merinci waktu salat. Al-Qur’an hanya mengatakan bahwa:

… إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (103)
Terjemahan: Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (Q.S. an-Nisa’ [4]: 103)

Al-Qur’an tidak menjelaskan waktu pelaksanaan salat. Ketentuan waktu ini dijelaskan oleh hadis Nabi bahwa waktu Zuhur adalah apa­bila matahari telah condong dan bayang-bayang sudah sama panjang dengan bends aslinya. Sedangkan, waktu Asar adalah selama ma­tahari belum menguning. Waktu Magrib adalah selama mega belum hilang. Waktu Isya adalah sampai sebelum fajar. Waktu Subuh adalah sejak terbitnya fajar sampai sebelum matahari terbit.

3) Sunah dapat menetapkan hukum baru yang tidak ada dalam Al-Qur’an. Contohnya, hadis dengan tegas mengharamkan memadu perempuan dengan bibinya (saudara ayah atau ibu), haram memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam, serta memakai kain sutra dan memakai cincin emas bagi laki-laki. Hukum semua ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi ditemukan dalam hadis Nabi.

4.Sunah yang Mengandung Hukum
Secara umum, sunah Nabi menjadi teladan bagi umatnya. Namun dilihat dari sudut pandang hukum, ternyata tidak semua sunah harus diikuti, bahkan ada sunah yang tidak boleh dilakukan oleh umatnya. Berkaitan dengan hal tersebut, ulama mengelompokkan sunah menjadi dua kelom­pok.

1) Sunah tasyri’ atau sunah yang berdaya hukum dan mengikat, se­hingga wajib diikuti. Sunah yang berdaya hukum ini meliput aspek-aspek kehidupan manusia yang berhubungan dengan hal-hal berikut.

a) Akidah. Yaitu, semua sunah yang menjelaskan keesaan Allah, sifat-sifat-Nya, rasul, wahyu, Hari Kiamat, malaikat, dan sebagainya. Semuanya bermuatan hukum, yaitu wajib untuk ditaati oleh umatnya.

b) Akhlak. Sunah yang mengandung ajaran akhlak, baik mengenai hubungan dengan Allah seperti salat, berdoa, tawakkal, dan sabar maupun mengenai hubungan antarmanusia seperti adab bertetang­ga, menepati janji, membantu anak yatim dan orang miskin, dan sebagainya. Semua sunah yang berkaitan dengan akhlak berdampak hukum, yaitu wajib bagi untuk mengikutinya.

c) Hukum amaliah. Yaitu sunah yang mengandung penetapan bentuk-­bentuk ibadah, pengaturan muamalah antar manusia, memisahkan hak dan kewajiban, menyelesaikan persengketaan antar umat secara adil. Hadis-hadis ini semua dapat dijadikan sumber hukum dan kita wajib mematuhinya.

2) Sunah non-tasyri’ atau sunah yang tidak mengandung hukum. Maksudnya, sunah yang tidak harus diikuti. Oleh karena, itu sifatnya ti­dak mengikat. Sunah ini biasanya menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan:

a) Perbuatan Nabi sebagai manusia biasa, seperti cara makan, minum, dan berpakaian.

b) Perbuatan Nabi yang timbul dari pengalaman pribadi atau kebiasaan dalam pergaulan, seperti urusan pertanian, kesehatan, mengasuh anak, dan sebagainya.

c) Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari tindakan pribadi Nabi dalam keadaan tertentu, seperti penempatan pasukan, pengaturan barisan, dan penentuan tempat dalam peperangan.

Sunah bukan tasyri’ tidak mengandung hukum, tidak mengikat, serta tidak mengandung tuntutan atau larangan. Sebagai umat Nabi, kalian dapat saja menirunya, namun sifatnya tidak mengikat. Artinya, tidak ada keharusan untuk mengikutinya.

Berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadis

Al-Qur’an dan hadis diturunkan kepada manusia sebagai pedoman hidup. Sebagai orang yang beriman, kita melaksanakan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Perilaku kita tidak boleh menyimpang dari segala hal yang sudah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika kita mau melaksankan ajaran Allah dan Rasul-Nya, kita akan mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Hukum Allah dan Rasul-Nya adalah yang benar dan sesuai dengan fitrah manusia. Allah-lah yang telah menciptakan ma­nusia. Dia membuat hukum yang sesuai dengan fitrah manusia. Tidak ada kata susah dan sulit untuk melaksanakan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Sebab, selain sejalan dengan fitrah manusia, hukum Al-Qur’an selalu memerhatikan aspek kemudahan dan selalu menghindari beban yang memberatkan manusia. Tidak ada alasan bagi kita untuk berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya. Bukankah Allah telah memerintahkan kita untuk taat kepada-Nya dan Rasul-Nya (Q.S. an-Nisa’ [4]: 4)? Selain itu, Rasulullah pernah bersabda sebagai berikut.

عَنْ عُ مَروبْنِ اَلْخَطَابِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّّمَ تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا اَبَدًا مَااِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كَتَابُ اللهِ وَسُنَّةُ رَسُوْلِهِ (رواه مالك)
Artinya: Dari Umar bin Khattab ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: ‘Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara, jika kalian berpegang kepada keduanya maka selamanya kalian tidak akan tersesat: Kitabullah dan su­nah Rasul-Nya.” (H.R. Malik)

Ra’yu (Nalar) sebagai Sumber Hukum Pelengkap
Secara bahasa, kata ra’yu artinya penglihatan, pendapat, dan panda­ngan. Dalam Islam, ra’yu menjadi sumber hukum Islam pelengkap setelah Al-Qur’an dan sunah Rasulullah. Inilah salah satu bukti bahwa Islam san­gat menghargai akal. Gunakan akal pikiran, nalar. Itulah seruan Al-Qur’an kepada manusia. Dari aktivitas manusia bernalar dan berpikir inilah lahir suatu hukum yang diakui sebagai hukum Islam.

Ra’yu sebagai sumber hukum Islam memiliki dasar yang kuat. Dalam Al-Qur’an, banyak sekali ayat yang memerintahkan manusia untuk meng­gunakan akalnya. Misalnya, Allah berfirman dalam Surah ar-Rum [30]: 8.

أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ مَا خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ لَكَافِرُونَ (8)
Terjemahan: Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? ….

Bisa jadi kalian bertanya-tanya, kapan ra’yu bisa dijadikan sumber hukum Islam? Ra’yu dapat dijadikan sumber hukum Islam dalam perkara hukum yang tidak ditemukan hukumnya dalam Al-Qur’an ataupun sunah Rasulullah.

Allah melalui syariat-Nya mempunyai tujuan yang meru­pakan ruh risalah Islam. Maksud Allah dalam menetapkan hukum adalah mendatangkan kemaslahatan (kebaikan) dan menjauhkan kerusakan bagi umat manusia. Oleh karena itu, pertimbangan maslahat dan mafsadat dapat dijadikan pijakan ra’yu dalam menetapkan hukum yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan hadis.

Hukum yang sudah secara jelas dan tegas dinyatakan oleh Al-Qur’an ataupun hadis tidak memperkenankan ra’yu untuk digunakan. Ra’yu berperan ketika suatu peristiwa atau keadaan belum ditetapkan hukumnya dalam Al-Qur’an atau­pun sunah Rasul.

Sepanjang sejarah hukum Islam, ra’yu telah digunakan untuk menetapkan hukum. Seiring bergulirnya waktu, peng­gunaan ra’yu untuk menetapkan suatu hukum tentu saja menjadi lebih besar. Banyak persoalan baru yang muncul, sedangkan hukumnya tidak ada dalam Al-Qur’an ataupun hadis. Apakah sesuatu tersebut harus kosong dari hukum (tidak ada hukumnya)? Tentu saja tidak demikian, karena mengosongkan hukum sesuatu bertentangan dengan tujuan hukum Islam. Oleh karena itu, ra’yu sangat berperan untuk memecahkan hukum baru yang tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadis. Demikianlah, ra’yu merupakan sumber hukum pelengkap yang akan dibutuhkan sepanjang masa. Contohnya kasus hukum operasi plas­tik, bedah mayat, pencangkokan jantung, pencangkokan kornea mates, dan lain sebagainya. Semua kasus ini tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadis, sehingga tampillah ra’yu untuk menetapkan hukumnya.