Masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual
tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran
(perenungan diri sambil berdoa). Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk
bersemedi di tempat sakral seperti
puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat.
Meskipun mereka hidup di era teknologi modern seperti
sekarang ini, tak menghilangkan keyakinan
mereka melanjutkan tradisi tersebut.
Beberapa daerah di Indonesia memiliki kepercayaan
mistis terhadap malam 1 Suro. Mereka melakukan berbagai ritual seperti memandikan benda pusaka seperti keris, dan membuang kepala kerbau ke tengah laut.
Hingga dikenal kirab Tumuruning Mahesa Suro,
ritual Batara Kathong, dan ritual
Telaga Ngebel Ponorogo.
Sebagian orang memahami bulan Suro sebagai bulan penuh kesialan. Itulah yang menyebabkan pada bulan
tersebut dilarang melakukan pesta pernikahan, terlebih bagi masyarakat jawa.
Sebenarnya ini adalah keyakinan yang
tidak berdasar karena bulan Suro atau bulan Muharram justru memiliki makna sebaliknya.
Bulan muharram memiliki arti kegembiraan.
Mitos ini tidak lepas dari latar belakang sejarah
zaman kerajaan tempo dulu.
Pada setiap bulan Suro keraton mempunyai tradisi membersihkan pusaka.
Tradisi ini menjadi sebuah hiburan yang menyenangkan bagi masrakyat dulu. Agar selalu ramai keraton membuat stigma tentang angkernya bulan Suro.
Sepinya minat masyarakat akan berdampak
mengurangi legitimasi dan kewibawaan keraton, yang pada saat itu merupakan
sumber segala hukum.
Sayangnya mitos tersebut sampai saat ini masih demikian
kuat dipegang oleh sebagian orang. Bahkan
sebagian orang tidak berani melakukan aktivitas karena dianggap bisa membawa sial.
Kerap kali tanggal 1 Suro bebarengan
dengan bulan purnama yang bernuansa misteri. dan memiliki kekuatan mistis. Padahal keyakinan hanya berlandaskan pada kata orang tua dulu dan perintah leluhur, tanpa bisa menunjukkan dalil secara agama maupun logika.